Inilah Situasi Aneh yang Menjebak Golkar Setelah Dukung Prabowo - Hatta
Selasa, 20 Mei 2014 06:05 WIB
TRIBUNNEWS.COM - Nasib Partai Golkar yang akhirnya memutuskan merapat ke poros Partai Gerindra dan mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai calon presiden dan wakil presiden dinilai sangat tragis.
Jika saja dalam Rapat Pimpinan Nasional VI pada Minggu (18/5/2014) partai berlambang pohon beringin itu memilih Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden, nasib Golkar diprediksi akan lebih baik.
"Saya kira manuver yang dilakukan Golkar ini di luar dugaan, dan jelas kerugian yang besar bagi Golkar. Dalam kondisi yang sangat situasional seperti ini, seharusnya rapimnas memutuskan JK jadi cawapres," kata Direktur Eksekutif Polcomm Institute Heri Budianto saat dihubungi Kompas.com, Minggu (19/5/2014) malam.
Rapimnas yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center itu memutuskan untuk memperluas wewenang Ketua Umum Partai GolkarAburizal Bakrie. Dia dipersilakan memiliki posisi yang lebih fleksibel, yakni menjadi capres dan juga cawapres. Aburizal juga dipercaya menentukan arah koalisi Golkar.
Dengan keputusan seperti itu, lanjut Heri, Golkar tidak mempunyai opsi yang cukup baik untuk ditawarkan ke partai lain. Aburizal yang elektabilitasnya rendah, tidak mempunyai daya tawar menjadi capres ataupun cawapres.
Di sisi lain, Kalla yang juga merupakan politisi senior Partai Golkarjustru dipilih oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk mendampingi Joko Widodo. Heri menilai, jika Golkar memilih Kalla sebagai cawapresnya, maka koalisi dengan PDI-P akan lebih terbuka.
Bahkan, kata Heri, Golkar pun seharusnya bisa mendapatkan kursi cawapres dari JK. "Sekarang kan justru aneh situasinya, tokoh Golkaryang digadang-gadang sebagai capres dan cawapres justru tidak laku. Sementara kader lain malah dipinang PDI-P," ujar dia
Jika saja dalam Rapat Pimpinan Nasional VI pada Minggu (18/5/2014) partai berlambang pohon beringin itu memilih Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden, nasib Golkar diprediksi akan lebih baik.
"Saya kira manuver yang dilakukan Golkar ini di luar dugaan, dan jelas kerugian yang besar bagi Golkar. Dalam kondisi yang sangat situasional seperti ini, seharusnya rapimnas memutuskan JK jadi cawapres," kata Direktur Eksekutif Polcomm Institute Heri Budianto saat dihubungi Kompas.com, Minggu (19/5/2014) malam.
Rapimnas yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center itu memutuskan untuk memperluas wewenang Ketua Umum Partai GolkarAburizal Bakrie. Dia dipersilakan memiliki posisi yang lebih fleksibel, yakni menjadi capres dan juga cawapres. Aburizal juga dipercaya menentukan arah koalisi Golkar.
Dengan keputusan seperti itu, lanjut Heri, Golkar tidak mempunyai opsi yang cukup baik untuk ditawarkan ke partai lain. Aburizal yang elektabilitasnya rendah, tidak mempunyai daya tawar menjadi capres ataupun cawapres.
Di sisi lain, Kalla yang juga merupakan politisi senior Partai Golkarjustru dipilih oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk mendampingi Joko Widodo. Heri menilai, jika Golkar memilih Kalla sebagai cawapresnya, maka koalisi dengan PDI-P akan lebih terbuka.
Bahkan, kata Heri, Golkar pun seharusnya bisa mendapatkan kursi cawapres dari JK. "Sekarang kan justru aneh situasinya, tokoh Golkaryang digadang-gadang sebagai capres dan cawapres justru tidak laku. Sementara kader lain malah dipinang PDI-P," ujar dia
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Rhoma, Dahlan, HT & Samad jadi korban 'PHP' elite parpol
Reporter : Putri Artika R | Selasa, 20 Mei 2014 08:30
0
Merdeka.com - Ada banyak cara yang dilakukan partai-partai politik menggaet perolehan suara di ajang Pemilihan Umum (Pemilu). Salah satunya, dengan mengusung tokoh-tokoh yang populer di kalangan masyarakat.
Namun, tak sedikit pula, tokoh-tokoh populer itu hanya dijadikan 'pancingan' agar rakyat dapat mengenal dan memilih partai tersebut. Para tokoh populer itu diiming-imingi tawaran Calon Presiden maupun Calon Wakil Presiden, agar mendongkrak elektabilitas partai.
ABG menyebut hubungan ini sebagai 'PHP' alias pemberi harapan palsu. Rupanya tak hanya ABG saja yang bisa di-PHP, para tokoh politik pun ikut jadi korban.
Siapa saja para tokoh yang diberi harapan palsu oleh Partai Politik itu? Berikut rangkuman merdeka.com.
Namun, tak sedikit pula, tokoh-tokoh populer itu hanya dijadikan 'pancingan' agar rakyat dapat mengenal dan memilih partai tersebut. Para tokoh populer itu diiming-imingi tawaran Calon Presiden maupun Calon Wakil Presiden, agar mendongkrak elektabilitas partai.
ABG menyebut hubungan ini sebagai 'PHP' alias pemberi harapan palsu. Rupanya tak hanya ABG saja yang bisa di-PHP, para tokoh politik pun ikut jadi korban.
Siapa saja para tokoh yang diberi harapan palsu oleh Partai Politik itu? Berikut rangkuman merdeka.com.
1.
Rhoma Irama diusung PKB
Merdeka.com - Raja dangdut Rhoma Irama menjadi korban 'PHP' oleh para elite Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pria yang dikenal dengan nama Bang Haji ini gagal dijadikan Capres dari partai tersebut.
Padahal, partai dibawah pimpinan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin itu telah mengajak Rhoma berkampanye ke daerah-daerah di seluruh Indonesia. Atribut kampanye, berupa pamflet, leaflet, spanduk juga menggambarkan sosok Rhoma menjadi Capres PKB.
Namun, hal itu tiba-tiba berubah ketika Cak Imin menyatakan dukungannya kepada Capres PDIP Jokowi. Roma sungguh kaget dan menyebut kontrak politik PKB dengan dirinya hanya basa basi saja.
"Kontrak politik (antara dirinya dan Cak Imin) itu basa-basi aja, karena ilegal dan tidak sesuai dengan AD/ART," kata Rhoma kepada merdeka.com, Minggu (11/5)
Rhoma melanjutkan, dirinya telah siap bersedia menjadi Cawapres PKB. Rhoma juga menyebut etika politik Cak Imin buruk.
"Tapi sebetulnya, saya bersedia kemarin (menjadi capres PKB), ingin mengharapkan itikad baik. Jadi di sini etika politik yang seharusnya berlaku," ujarnya.
Padahal, partai dibawah pimpinan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin itu telah mengajak Rhoma berkampanye ke daerah-daerah di seluruh Indonesia. Atribut kampanye, berupa pamflet, leaflet, spanduk juga menggambarkan sosok Rhoma menjadi Capres PKB.
Namun, hal itu tiba-tiba berubah ketika Cak Imin menyatakan dukungannya kepada Capres PDIP Jokowi. Roma sungguh kaget dan menyebut kontrak politik PKB dengan dirinya hanya basa basi saja.
"Kontrak politik (antara dirinya dan Cak Imin) itu basa-basi aja, karena ilegal dan tidak sesuai dengan AD/ART," kata Rhoma kepada merdeka.com, Minggu (11/5)
Rhoma melanjutkan, dirinya telah siap bersedia menjadi Cawapres PKB. Rhoma juga menyebut etika politik Cak Imin buruk.
"Tapi sebetulnya, saya bersedia kemarin (menjadi capres PKB), ingin mengharapkan itikad baik. Jadi di sini etika politik yang seharusnya berlaku," ujarnya.
2.
Abraham Samad mau dipinang Jokowi
Merdeka.com - Korban 'PHP' elite politik sempat jatuh ke Ketua KPK Abraham Samad. Abraham satu dari dua calon lainnya, yang dilirik Capres PDIP Jokowi untuk menjadi pasangan Cawapresnya dalam Pilpres 9 Juli mendatang.
Selain Abraham, calon lainnya yang menjadi wacana Jokowi menjadi cawapres yakni Jusuf Kalla. Meski demikian tampaknya Abraham sudah bersiap-siap untuk dipinang. Pria asal Makassar ini bahkan mengaku jika dirinya telah mengantongi izin kepada pimpinan KPK lainnya untuk maju sebagai Cawapres.
"Jadi seperti yang dulu saya katakan pada saudara-saudara bahwa sebagai manusia biasa, manusia beragama kita tidak mampu menolak takdir, Begitu pula kita tidak mampu mengatur takdir. Saya sudah tanya pimpinan KPK yang lain nggak ada masalah," kata Abraham usai menghadiri Rapimnas LDII di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (15/5)
Namun apa mau dikata. Jokowi ternyata lebih memilih JK ketimbang Abraham.
Bahkan kini, dikabarkan internal KPK akan mengkonfirmasi soal manuver politik Abraham tersebut.
Selain Abraham, calon lainnya yang menjadi wacana Jokowi menjadi cawapres yakni Jusuf Kalla. Meski demikian tampaknya Abraham sudah bersiap-siap untuk dipinang. Pria asal Makassar ini bahkan mengaku jika dirinya telah mengantongi izin kepada pimpinan KPK lainnya untuk maju sebagai Cawapres.
"Jadi seperti yang dulu saya katakan pada saudara-saudara bahwa sebagai manusia biasa, manusia beragama kita tidak mampu menolak takdir, Begitu pula kita tidak mampu mengatur takdir. Saya sudah tanya pimpinan KPK yang lain nggak ada masalah," kata Abraham usai menghadiri Rapimnas LDII di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (15/5)
Namun apa mau dikata. Jokowi ternyata lebih memilih JK ketimbang Abraham.
Bahkan kini, dikabarkan internal KPK akan mengkonfirmasi soal manuver politik Abraham tersebut.
3.
Hary Tanoe dan Wiranto
Merdeka.com - Setelah pindah dari Partai Nasdem, Hary Tanoe diharapkan akan mendongkrak suara Partai Hanura di Pileg lalu. Namun, kenyataannya perolehan suara Hanura tidak sampai 5 persen kala itu.
Karena tak sesuai target itulah, Hary Tanoe mulai digoyang. Hary Tanoe diminta bertanggung jawab karena suara Hanura jauh dari harapan. Ketua DPP Partai Hanura Yudi Chrisnandi paling bersuara lantang mengkritik Hary Tanoe. Dia menilai Hary Tanoe harus bertanggung jawab karena suara Hanura tak melampaui target.
"Tentunya Rapimnas seyogyanya memberikan catatan penting. Seharusnya memberikan evaluasi kinerja partai, tidak hanya Pak Hary Tanoe, tapi jajaran Bappilu," ujar Yudi.
Salah satu pendiri Partai Hanura Fuad Bawazier juga mengkritik keras Hary Tanoe. Menurutnya, kehadiran Hary Tanoe di Hanura tidak ada manfaatnya.
Padahal, agar elektabilitas Hanura meningkat, Hary Tanoe mengerahkan seluruh kekuatan medianya di bawah bendera grup MNC terus beriklan. Bahkan itu dilakukan jauh-jauh hari sebelum pileg. Iklan itu diputar berulang-ulang di media-media Hary Tanoe .
Hasil laporan Hanura yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), dana kampanye Hanura pada pileg sebesar Rp 374 miliar. Paling banyak dana kampanye untuk iklan di media cetak dan elektronik.
Karena tak sesuai target itulah, Hary Tanoe mulai digoyang. Hary Tanoe diminta bertanggung jawab karena suara Hanura jauh dari harapan. Ketua DPP Partai Hanura Yudi Chrisnandi paling bersuara lantang mengkritik Hary Tanoe. Dia menilai Hary Tanoe harus bertanggung jawab karena suara Hanura tak melampaui target.
"Tentunya Rapimnas seyogyanya memberikan catatan penting. Seharusnya memberikan evaluasi kinerja partai, tidak hanya Pak Hary Tanoe, tapi jajaran Bappilu," ujar Yudi.
Salah satu pendiri Partai Hanura Fuad Bawazier juga mengkritik keras Hary Tanoe. Menurutnya, kehadiran Hary Tanoe di Hanura tidak ada manfaatnya.
Padahal, agar elektabilitas Hanura meningkat, Hary Tanoe mengerahkan seluruh kekuatan medianya di bawah bendera grup MNC terus beriklan. Bahkan itu dilakukan jauh-jauh hari sebelum pileg. Iklan itu diputar berulang-ulang di media-media Hary Tanoe .
Hasil laporan Hanura yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), dana kampanye Hanura pada pileg sebesar Rp 374 miliar. Paling banyak dana kampanye untuk iklan di media cetak dan elektronik.
Namun pasangan Win-HT bubar. Wiranto membawa Hanura berkoalisi dengan Jokowi. Sementara Hary Tanoe dikabarkan memilih dekat dengan Prabowo.
4.
Dahlan Iskan dan Konvensi Demokrat
Merdeka.com - Menteri BUMN Dahlan Iskan menjadi pemenang peserta Capres Konvensi Demokrat beberapa waktu lalu. Namun, menjadi pemenang dalam acara itu bukan berarti Partainya akan mengusung dirinya menjadi Capres.
Demokrat justru berwacana mengusung capres Sri Sultan Hamengkubuwono X. Usulan Sultan lantaran namanya masuk ke dalam tokoh-tokoh Indonesia paling berpengaruh berdasarkan survei.
Namun, wacana mencalonkan Sultan gagal. Demokrat pun malah memilih menjadi partai oposisi dibandingkan mencalonkan Capres Dahlan.
Pasalnya, kata Ketum Demokrat SBY, partainya tidak bisa berbuat banyak lantaran perolehan suara di Pileg lalu, hanya 10 persen. Namun akhirnya Demokrat tampaknya memilih oposisi setelah semua partai lain lebih dulu menentukan sikap.
Demokrat justru berwacana mengusung capres Sri Sultan Hamengkubuwono X. Usulan Sultan lantaran namanya masuk ke dalam tokoh-tokoh Indonesia paling berpengaruh berdasarkan survei.
Namun, wacana mencalonkan Sultan gagal. Demokrat pun malah memilih menjadi partai oposisi dibandingkan mencalonkan Capres Dahlan.
Pasalnya, kata Ketum Demokrat SBY, partainya tidak bisa berbuat banyak lantaran perolehan suara di Pileg lalu, hanya 10 persen. Namun akhirnya Demokrat tampaknya memilih oposisi setelah semua partai lain lebih dulu menentukan sikap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar