Keberadaan tim sukses dan tim kampanye dua pasang capres-cawapres yang akan bertarung 9 Juli nanti sangat vital dalam upaya mendulang suara. Kandidat yang hebat dengan tim sukses lemah lebih besar kemungkinan gagal ketimbang pasangan capres-cawapres lemah dengan tim sukses kuat. Peran tim sukses selain memenangkan kandidat yang diusung, sejatinya juga bisa memenangkan demokrasi.
Berbagai metode pemenangan yang dipraktikkan akan mewarnai perjalanan demokrasi Indonesia. Tim sukses yang menghalalkan segala cara, antara lain dengan black campaign, money politics, bahkan manipulasi suara, bakal mencederai demokratisasi.
Proses tidak sehat dalam upaya memenangi pemilu bisa dilakukan siapa pun kandidat yang merasa sudah kepalang tanggung terjun di persaingan pilpres. Karena telanjur basah telah mengeluarkan seluruh tenaga, dana dan kemampuan lainnya, maka syahwat berkuasa berpotensi menutup cara-cara halal.
Pada titik ini, tim sukses yang benar, punya peran krusial. Tim seharusnya bubar bila calon yang diusung bertindak di luar aturan. Sekurangnya personelnya mundur bila sang kandidat menghalalkan segala cara. Sebaliknya, bukan tidak mungkin tim sukseslah yang justru merancang kemungkinan-kemungkinan terburuk, sehingga menetapkan langkah terjelek, yakni menginjak-injak etika politik, bahkan mungkin melanggar undang-undang.
Keberhasilan Barack Obama memenangi kursi Presiden AS ke-44, merupakan contoh kerja keras dan cerdas tim sukses pemenangan pemilu. Awalnya, dibanding sejumlah kandidat capres lain, dari Partai Demokrat atau Partai Republik, Obama kalah populer di mata rakyat. Apalagi ia berasal dari kaum minoritas, yaitu Afro-Amerika. Nyatanya, tim sukses mampu mengangkat sosok Obama. Mampu mengomunikasikan secara baik berbagai agenda politik nasional serta solusi masalah berkait bagaimana Amerika harus lepas dari belenggu krisis ekonomi dan mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia yang tergerus pada masa pemerintahan Presiden George Bush. Hasilnya, Obama mengalahkan Hillary Clinton, pesaing cerdas dan memiliki banyak pendukung, di konvensi Partai Demokrat. Lantas, Obama mengalahkan capres Partai Republik, John McCain.
Pada dasarnya, peran tim sukses adalah kepanjangan tangan kandidat memperkenalkan diri atau tepatnya mempromosikan sang calon kepada konstituen. Apa yang harus diketahui publik meliputi sosok dan karakter sang kandidat serta program-program yang akan dilakukan sehingga ia layak dipilih. Kesuksesan Obama tak lepas dari tim sukses yang mengemas dengan baik strategi kampanye membangun image serta karakter diri Obama sehingga diterima oleh mayoritas masyarakat kulit putih.
Pada pilpres sekarang, membangun image dan karakter sangat dibutuhkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Seperti yang sudah-sudah, Prabowo selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM atau masalah karakter diri. Hal yang belum tentu benar dan tak ada legitimasi hukum atas ‘tudingan’ itu perlu diluruskan tim suksesnya.
Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diuntungkan soal image personal. Sejak menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dikenal dekat dengan rakyat, blusukan, bahkan muncul slogan ‘berkoalisi dengan rakyat’. Namun, tim sukses pasangan ini harus bekerja keras memopulerkan program kerja capres sehingga pasangan ini tidak terkesan hanya punya modal popularitas.
Pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta sudah dan tengah merekrut tim sukses pemenangan Pilpres 2014. Nama-nama yang masuk dalam tim sukses diyakini akan memengaruhi jumlah dukungan capres.
Di Jabar, misalnya, kubu Jokowi akan mengajak Rieke Dyah Pitaloka dan Teten Masduki yang pernah ikut pilgub. Sedangkan, Gubernur Jabar Ahmad Heriawan akan menjadi jurkam Prabowo di Jabar. Di Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Muhaimin Iskandar masuk dalam tim Jokowi-JK serta Soekarwo, Syaifullah Yusuf, dan Ahmad Dhani di kubu Prabowo-Hatta. Selain itu, beberapa tokoh yang memiliki dukungan massa juga direkrut capres, seperti Rhoma Irama dan Mahfud MD (NU).
Mereka dirangkul untuk pemenangan tiga daerah di Jawa yang menjadi lumbung suara pilpres, yakni Jawa Barat dengan sekitar 33 juta pemilih, Jawa Timur (30 juta), dan Jawa Tengah (27 juta).
Perekrutan nama-nama kondang dalam tim sukses tersebut karena mereka mempunyai pengaruh pada publik. Pilihan nama-nama itu sangat masuk akal. Saat kampanye nanti, massa yang sudah menjadi pengikut si jurkam dengan mudah digiring untuk memilih kandidat capres tertentu. Tanpa perlu menjelaskan program kerja capres pun, apa kata sang jurkam cenderung akan diikuti. Itulah cara paling mudah menggaet konstituen.
Yang lebih susah bagaimana menjaring para pemilih yang belum menentukan pilihannya dan bukan massa dari para tim sukses capres yang tengah berkompetisi. Diperkirakan sekitar 30% dari total seluruh pemilih adalah kelompok pemilih yang belum memiliki preferensi politik (undecided voters) atau sekitar 57 juta pemilih. Di sinilah perang sebenarnya tim sukses untuk menarik mereka. ***
Berbagai metode pemenangan yang dipraktikkan akan mewarnai perjalanan demokrasi Indonesia. Tim sukses yang menghalalkan segala cara, antara lain dengan black campaign, money politics, bahkan manipulasi suara, bakal mencederai demokratisasi.
Proses tidak sehat dalam upaya memenangi pemilu bisa dilakukan siapa pun kandidat yang merasa sudah kepalang tanggung terjun di persaingan pilpres. Karena telanjur basah telah mengeluarkan seluruh tenaga, dana dan kemampuan lainnya, maka syahwat berkuasa berpotensi menutup cara-cara halal.
Pada titik ini, tim sukses yang benar, punya peran krusial. Tim seharusnya bubar bila calon yang diusung bertindak di luar aturan. Sekurangnya personelnya mundur bila sang kandidat menghalalkan segala cara. Sebaliknya, bukan tidak mungkin tim sukseslah yang justru merancang kemungkinan-kemungkinan terburuk, sehingga menetapkan langkah terjelek, yakni menginjak-injak etika politik, bahkan mungkin melanggar undang-undang.
Keberhasilan Barack Obama memenangi kursi Presiden AS ke-44, merupakan contoh kerja keras dan cerdas tim sukses pemenangan pemilu. Awalnya, dibanding sejumlah kandidat capres lain, dari Partai Demokrat atau Partai Republik, Obama kalah populer di mata rakyat. Apalagi ia berasal dari kaum minoritas, yaitu Afro-Amerika. Nyatanya, tim sukses mampu mengangkat sosok Obama. Mampu mengomunikasikan secara baik berbagai agenda politik nasional serta solusi masalah berkait bagaimana Amerika harus lepas dari belenggu krisis ekonomi dan mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia yang tergerus pada masa pemerintahan Presiden George Bush. Hasilnya, Obama mengalahkan Hillary Clinton, pesaing cerdas dan memiliki banyak pendukung, di konvensi Partai Demokrat. Lantas, Obama mengalahkan capres Partai Republik, John McCain.
Pada dasarnya, peran tim sukses adalah kepanjangan tangan kandidat memperkenalkan diri atau tepatnya mempromosikan sang calon kepada konstituen. Apa yang harus diketahui publik meliputi sosok dan karakter sang kandidat serta program-program yang akan dilakukan sehingga ia layak dipilih. Kesuksesan Obama tak lepas dari tim sukses yang mengemas dengan baik strategi kampanye membangun image serta karakter diri Obama sehingga diterima oleh mayoritas masyarakat kulit putih.
Pada pilpres sekarang, membangun image dan karakter sangat dibutuhkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Seperti yang sudah-sudah, Prabowo selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM atau masalah karakter diri. Hal yang belum tentu benar dan tak ada legitimasi hukum atas ‘tudingan’ itu perlu diluruskan tim suksesnya.
Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diuntungkan soal image personal. Sejak menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dikenal dekat dengan rakyat, blusukan, bahkan muncul slogan ‘berkoalisi dengan rakyat’. Namun, tim sukses pasangan ini harus bekerja keras memopulerkan program kerja capres sehingga pasangan ini tidak terkesan hanya punya modal popularitas.
Pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta sudah dan tengah merekrut tim sukses pemenangan Pilpres 2014. Nama-nama yang masuk dalam tim sukses diyakini akan memengaruhi jumlah dukungan capres.
Di Jabar, misalnya, kubu Jokowi akan mengajak Rieke Dyah Pitaloka dan Teten Masduki yang pernah ikut pilgub. Sedangkan, Gubernur Jabar Ahmad Heriawan akan menjadi jurkam Prabowo di Jabar. Di Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Muhaimin Iskandar masuk dalam tim Jokowi-JK serta Soekarwo, Syaifullah Yusuf, dan Ahmad Dhani di kubu Prabowo-Hatta. Selain itu, beberapa tokoh yang memiliki dukungan massa juga direkrut capres, seperti Rhoma Irama dan Mahfud MD (NU).
Mereka dirangkul untuk pemenangan tiga daerah di Jawa yang menjadi lumbung suara pilpres, yakni Jawa Barat dengan sekitar 33 juta pemilih, Jawa Timur (30 juta), dan Jawa Tengah (27 juta).
Perekrutan nama-nama kondang dalam tim sukses tersebut karena mereka mempunyai pengaruh pada publik. Pilihan nama-nama itu sangat masuk akal. Saat kampanye nanti, massa yang sudah menjadi pengikut si jurkam dengan mudah digiring untuk memilih kandidat capres tertentu. Tanpa perlu menjelaskan program kerja capres pun, apa kata sang jurkam cenderung akan diikuti. Itulah cara paling mudah menggaet konstituen.
Yang lebih susah bagaimana menjaring para pemilih yang belum menentukan pilihannya dan bukan massa dari para tim sukses capres yang tengah berkompetisi. Diperkirakan sekitar 30% dari total seluruh pemilih adalah kelompok pemilih yang belum memiliki preferensi politik (undecided voters) atau sekitar 57 juta pemilih. Di sinilah perang sebenarnya tim sukses untuk menarik mereka. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar