http://www.merdeka.com/khas/berbagi-amarah-dengan-ahok-ganjar-dan-risma-kolom-selasa.html
Reporter : Didik Supriyanto | Selasa, 13 Mei 2014 15:38
32
Merdeka.com - Rekaman kemarahan Ahok , Ganjar, dan Risma yang diunggah di media sosial telah diakses oleh ratusan ribu orang. Televisi juga menayangkan berkali-kali karena para pengelolanya sadar, bahwa tayangan itu dinantikan sebagian besar pemirsanya.
Mengapa kita senang menyaksikan Ahok , Ganjar, dan Risma marah? Bukankah kita biasanya malu atau pura-pura tidak tahu jika melihat orang marah, atau berusaha menjaga "kehormatan" yang sedang kehilangan kendali emosi?
Ya, kemarahan Ahok , Ganjar, dan Risma memang lain. Ini bukan sekadar emosi yang meletup-letup karena kecewa atau sakit hati, tetapi karena kita bisa mengerti, memahami, dan menyelami, kenapa kemarahan itu terjadi.
Lebih dari itu, sesungguhnya kemarahan tiga orang itu juga mewakili kemarahan banyak orang. Kita sesungguhnya mau marah karena hampir setiap hari, terutama jika berhubungan dengan aparat pemerintah, dibuat kecewa dan sakit hati oleh perilaku buruknya: tidak terampil, tidak empati, dan minta disuap.
Tapi kita tidak bisa melampiaskan rasa jengkel itu, karena kita dalam posisi tidak berdaya. Bukan takut atau tidak bisa marah, tapi tidak mau terbelit masalah lebih rumit. Ya, orang Jawa bilang, sing waras ngalah, menahan diri, menahan sakit hati.
Makanya, saat menyaksikan Ahok , Ganjar, dan Risma marah, sebetulnya kita juga sedang melampiaskan kemarahan yang sama. Itulah sebabnya kita menyaksikan berkali-kali video Ahok , Ganjar, dan Risma, dan berbagi dengan kawan dan sanak saudara. Ya, semacam solidaritas kemarahan, setelah bertahun-tahun ditahan dalam hati.
Ketika pertama kali menyaksikan Ahok memarahi pegawainya yang bengong saja di hadapan laptopnya, kita terhenyak: ada pejabat marah di depan umum kepada pegawai rendahan. Nalar kita menyayangkan, tapi hati kecil membenarkan.
Bagi orang tua yang setiap bulan dililit biaya sekolah padahal katanya sekolah gratis senang menyaksikan Ahok memarahi kepala sekolah yang seenaknya mengelola anggaran. Sejak saat itu, tidak ada lagi sekolah negeri yang menarik uang tambahan. Mau dimarahin Ahok? Inilah dampak penyebaran video amarah Ahok .
Tetapi penyebaran video itu juga tak berarti apa-apa, paling hanya jadi hiburan, jika Ahok sendiri tidak melakukan langkah nyata untuk membenahi hal-hal yang membuat dia marah. Tetap dibutuhkan kerja kongkrit, agar semua kesalahan, kekurangan, dan keburukan, bisa berubah menjadi kebenaran, kelebihan, dan kebaikan.
Jika tidak, maka amarah hanya menjadi amarah berikutnya. Kalau amarah sudah menjadi rutin, tentu tidak menarik jadi tontonan. Bahkan bisa jadi bahan cibiran: kerjanya marah melulu.
Bagi orang-orang yang dekat dengan Ganjar, ledakan amarah di lingkungan Pemprov Jawa Tengah, sesungguhnya hanya menunggu waktu. Dia sudah memperingatkan agar para pegawai kerja dengan baik, melayani rakyat, menghindari korupsi. Dia juga berkali-kali mengatakan, pesan "ora ngapusi, ora korupsi" bukan tagline kampanye semata.
Namun sudah hampir setahun berkuasa, Sang Gubernur ini merasa belum semua jajaran pemprov bergerak membaik. Dia merasa hendak ditipu oleh pejabat tertentu; dia berkali-kali ditawari amplop pengusaha atas saran pegawainya. Ada kongkalikong; kebiasaan lama belum berhenti.
Tapi dia belum bisa membuktikan kelakuan buruk pegawai itu secara nyata, sampai di terjun sendiri di tempat timbangan kendaraan. Meledaklah amarahnya. Kita ikut senang menyaksikan, karena dalam bentuk lain, hampir setiap hari sesungguhnya dipungut pungli oleh petugas, di jalanan maupun di kantor.
Lain lagi dengan kemarahan Risma. Bayangkan, kerja keras membangun Taman Bungkul selama 10 tahun dengan anggaran negara yang tidak sedikit, dirusak dalam sekejap akibat tindakan sembrono. Seluruh warga Surabaya pun ikut marah, karena teman itu tidak hanya menjadi tempat berteduh dan bersantai, tapi sudah menjadi kebanggaan warga Surabaya karena sudah diakui secara internasional.
Inilah pelajaran penting amarah Ahok , Ganjar, dan Risma: jika tidak turun langsung ke lapangan, tidak mungkin pejabat menemui kesalahan dan kekurangan; jika tidak marah atas kesalahan dan kekurangan yang dilakukan bawahan, tidak mungkin pelaku kesalahan itu terbuka aib dan kesadarannya, dan; jika tidak dikontrol terus menerus dan disidak berkali-kali, tidak mungkin kebijakan dan keputusan jadi kenyataan.
Mengapa kita senang menyaksikan Ahok , Ganjar, dan Risma marah? Bukankah kita biasanya malu atau pura-pura tidak tahu jika melihat orang marah, atau berusaha menjaga "kehormatan" yang sedang kehilangan kendali emosi?
Ya, kemarahan Ahok , Ganjar, dan Risma memang lain. Ini bukan sekadar emosi yang meletup-letup karena kecewa atau sakit hati, tetapi karena kita bisa mengerti, memahami, dan menyelami, kenapa kemarahan itu terjadi.
Lebih dari itu, sesungguhnya kemarahan tiga orang itu juga mewakili kemarahan banyak orang. Kita sesungguhnya mau marah karena hampir setiap hari, terutama jika berhubungan dengan aparat pemerintah, dibuat kecewa dan sakit hati oleh perilaku buruknya: tidak terampil, tidak empati, dan minta disuap.
Tapi kita tidak bisa melampiaskan rasa jengkel itu, karena kita dalam posisi tidak berdaya. Bukan takut atau tidak bisa marah, tapi tidak mau terbelit masalah lebih rumit. Ya, orang Jawa bilang, sing waras ngalah, menahan diri, menahan sakit hati.
Makanya, saat menyaksikan Ahok , Ganjar, dan Risma marah, sebetulnya kita juga sedang melampiaskan kemarahan yang sama. Itulah sebabnya kita menyaksikan berkali-kali video Ahok , Ganjar, dan Risma, dan berbagi dengan kawan dan sanak saudara. Ya, semacam solidaritas kemarahan, setelah bertahun-tahun ditahan dalam hati.
Ketika pertama kali menyaksikan Ahok memarahi pegawainya yang bengong saja di hadapan laptopnya, kita terhenyak: ada pejabat marah di depan umum kepada pegawai rendahan. Nalar kita menyayangkan, tapi hati kecil membenarkan.
Bagi orang tua yang setiap bulan dililit biaya sekolah padahal katanya sekolah gratis senang menyaksikan Ahok memarahi kepala sekolah yang seenaknya mengelola anggaran. Sejak saat itu, tidak ada lagi sekolah negeri yang menarik uang tambahan. Mau dimarahin Ahok? Inilah dampak penyebaran video amarah Ahok .
Tetapi penyebaran video itu juga tak berarti apa-apa, paling hanya jadi hiburan, jika Ahok sendiri tidak melakukan langkah nyata untuk membenahi hal-hal yang membuat dia marah. Tetap dibutuhkan kerja kongkrit, agar semua kesalahan, kekurangan, dan keburukan, bisa berubah menjadi kebenaran, kelebihan, dan kebaikan.
Jika tidak, maka amarah hanya menjadi amarah berikutnya. Kalau amarah sudah menjadi rutin, tentu tidak menarik jadi tontonan. Bahkan bisa jadi bahan cibiran: kerjanya marah melulu.
Bagi orang-orang yang dekat dengan Ganjar, ledakan amarah di lingkungan Pemprov Jawa Tengah, sesungguhnya hanya menunggu waktu. Dia sudah memperingatkan agar para pegawai kerja dengan baik, melayani rakyat, menghindari korupsi. Dia juga berkali-kali mengatakan, pesan "ora ngapusi, ora korupsi" bukan tagline kampanye semata.
Namun sudah hampir setahun berkuasa, Sang Gubernur ini merasa belum semua jajaran pemprov bergerak membaik. Dia merasa hendak ditipu oleh pejabat tertentu; dia berkali-kali ditawari amplop pengusaha atas saran pegawainya. Ada kongkalikong; kebiasaan lama belum berhenti.
Tapi dia belum bisa membuktikan kelakuan buruk pegawai itu secara nyata, sampai di terjun sendiri di tempat timbangan kendaraan. Meledaklah amarahnya. Kita ikut senang menyaksikan, karena dalam bentuk lain, hampir setiap hari sesungguhnya dipungut pungli oleh petugas, di jalanan maupun di kantor.
Lain lagi dengan kemarahan Risma. Bayangkan, kerja keras membangun Taman Bungkul selama 10 tahun dengan anggaran negara yang tidak sedikit, dirusak dalam sekejap akibat tindakan sembrono. Seluruh warga Surabaya pun ikut marah, karena teman itu tidak hanya menjadi tempat berteduh dan bersantai, tapi sudah menjadi kebanggaan warga Surabaya karena sudah diakui secara internasional.
Inilah pelajaran penting amarah Ahok , Ganjar, dan Risma: jika tidak turun langsung ke lapangan, tidak mungkin pejabat menemui kesalahan dan kekurangan; jika tidak marah atas kesalahan dan kekurangan yang dilakukan bawahan, tidak mungkin pelaku kesalahan itu terbuka aib dan kesadarannya, dan; jika tidak dikontrol terus menerus dan disidak berkali-kali, tidak mungkin kebijakan dan keputusan jadi kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar