Selasa, 10/06/2014 16:59 WIB
Sebuah Amanat untuk NKRI
Halaman 1 dari 2
Pada tahun 1945-1965 periode Orde Lama, tahun 1966-1998 memasuki Orde Baru dan 1999-2014 era Reformasi, ada catatan sejarah plus minus dan bangsa Indonesia telah mengalami transisi 3 tradisi. Dihadapkan tahun politik saat ini kita harus memilih calon pemimpin bangsa yang akan menjadi nahkoda Indonesia 2014/2019 pada 9 Juli 2014 sebagai bentuk praktek demokrasi dengan asas 'Luber'.
Bangsa Indonesia sejatinya tidak kekurangan pemimpin, karena banyak orang pintar, cerdik, pandai dan cerdas di Indonesia. Namun untuk membangun Indonesia tidak cukup hanya itu saja. Pemimpin Indonesia harus memiliki pemahaman budaya yang luas, menghormati pluralisme dan kemajemukan, mampu menjaga multikulturalisme karena NKRI sangat besar yang terdiri dari kepulauan dengan berbagai suku bangsa, bahasa dan budaya beragam.
Untuk itu, NKRI membutuhkan pemimpin bangsa yang mau berkorban, menahan diri dari godaan hedonisme semata, tidak mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok golongan dan interestnya. Sosok pemimpin NKRI yang mau berkorban untuk rakyat dan bangsanya, berjiwa besar, memiliki integritas moral dan religius yang tinggi. Berangkat dari hal tersebut mari menjelang Pilpres 9 Juli 2014, bangsa Indonesia mengedepankan pikiran menjadi pemilih yang bertanggungjawab agar pemimpin yang terpilih menjadi pemimpin yang membawa peningkatan kesejahteraan membawa gerbong bangsa Indonesia makin maju, bermartabat, adil sejahtera disertai kejujuran dan nurani.
Presiden AS Barrack Obama, ketika berkunjung ke Indonesia pada tahun 2010 lalu mengatakan Indonesia mempunyai mutiara yang tidak ternilai harganya yaitu "ideologi Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika". Dalam sifat dasar manusia terdiri, kreatif, kebahagiaan memberi, kemenangan, kemantapan hati dan kemampuan, semua ini harus dipahami oleh calon pemimpin bangsa.
“Maju mundurnya suatu bangsa di tentukan oleh generasi muda, apa yang dibaca oleh generasi muda, bacaan maju dan bangkitnya tentang kepahlawanan dan sebaliknya” (menurut Mc.Clelland). Adapun modal kebhinnekaan meliputi, Indonesia bangsa multietnis, multikultur, multiagama, dan bhinneka mendukung nilai nilai inklusif, terbuka, koeksistensi damai dan kebersamaan, kesetaraan, tidak merasa paling benar, toleran dan musyawarah.
Dari sejak tahun 1945 sampai sekarang telah terjadi suksesi kepemimpinan mulai Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono memimpin hingga sekarang. Rencana Pilpres 9 Juli 2014, mau di bawa kemana NKRI selanjutnya setelah bangsa Indonesia dilanda krisis kepemimpinan yang parah?
Bangsa Indonesia butuh presiden yang berkeringat yang mampu bekerja keras untuk rakyat. Sementara itu, mitos 'Satrio Piningit” dalam Joyoboyo/Ronggowarsito disebutkan NKRI akan mencapai kemakmuran bila dipimpin orang yang bernama dengan urutan 'Notonogoro' dan akan muncul di Indonesia setelah ontran-ontran. Kisah tersebut terbantah ketika presiden selanjutnya tidak sesuai urutan 'Notonogoro' (Prabowo Subianto dan Joko Widodo).
Namun siapapun pemimpin yang akan dipilih pada 9 Juli 2014 hendaknya dekat dengan rakyat, meski masyarakat apatis terhadap mereka. Kedua pasangan Capres Joko Widodo dan Capres Prabowo menjelang Pilpres 2014, memunculkan simbol-simbol mantan Presiden RI Soekarno. Sah-sah saja untuk menaikan elektabilitas pasangan Capres/Cawapres, walaupun kedua pasangan tersebut bukan titisan Soekarno. Dua kandidat Capres tersebut ingin menunjukkan siapa yang paling Soekarnois.
Seharusnya dimaknai kedua Capres adalah semangat perjuangan Soekarno, bukan politik pencitraan, karena tidak akan ada yang bisa menyamakan sosok Soekarno. Dualisme Capres yang menunjukkan nostalgia politik ini dengan harapan memenangkan elektabilitas. Untuk itu, rakyat harus sikapi, jangan terkecoh karakter visual, tetapi pelajari pikiran, visi, misi dan program dari Capres itu sendiri. Kedua Capres yang menggunakan simbol Soekarno ini menunjukkan Capres tidak kreatif karena meniru tokoh, bukan memunculkan karakter baru. Seharusnya semangat dan pemikiran Soekarno ini ikut terinternalisasi secara utuh, bukan hanya penampilannya saja.
Rekam Jejak
Dalam pandangan, mencari pemimpin harus dilihat dari rekam jejaknya. Orang yang tidak pernah mengalami dan menyanggupi dengan apa yang disampaikan/dilakukannya memiliki kecenderungan hanya kamuflase semata. Seorang pemimpin harus lahir dari tengah masyarakat dan rekam jejak masing-masing calon menjadi sangat penting.
Bagaimana tiba-tiba akan memperhatikan pada petani, pedagang, tetapi dalam kesehariaannya tidak membaur dengan rakyat. Untuk itu, “Jangan mudah terkecoh dengan keseharian mereka”. Ideologi “Trisakti” untuk Jokowi dan ideologi “Ekonomi Kerakyatan” untuk Prabowo. Dibutuhkan sistem pembatasan pengaruh Wapres dengan segala kepentingan politiknya dengan membentuk tim kabinet yang kuat, profesional serta hak Presiden menentukan pembantunya demi kepentingan rakyat, harus bebas dari pengaruh uang dan nepotisme serta membuang paradigma 'like and dislike'.
Diharapkan cara ini dapat mengatasi para penjahat negara, karena pada pemerintahan sebelumnya penentuan anggota kabinet disamping bagi-bagi kursi antar partai politik, sebagian kecil untuk para profesional, sebagian lagi dilelang untuk kepentingan dana kampanye. Jika cara lama masih dilakukan, sangat sulit mengharapkan Indonesia akan berubah, siapapun Presidennya, tidak akan dapat mengejar negara maju. 'Macan Asia' cuma akan jadi slogan. Untuk itu, Presiden ke depan yang terpilih baik Jokowi dan Prabowo harus mempertanggungjawabkan dengan janji-janji kampanye. “Kesabaran memang penuh ujian, jika Anda selalu lulus, kemenangan itu akan permanen selamanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar