“Ini bukan untuk menyaingi buku Jakarta Undercover, tetapi ini adalah kejadian yang benar-benar terjadi sewaktu saya ikut tim engineering proyek pabrik baru di tahun 2000 yang lalu. Engineering dilakukan di kantor kontraktor di Yokohama selama (sekitar) 3 bulan. Anggota tim berjumlah 7 orang, terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Nama-nama dalam kisah-kisah tersebut disamarkan, namun yang pasti saya terlibat di dalamnya.”
Melihat keberagaman perbedaan yang ada di negara atau tempat lain adalah sesuatu yang sangat mengasyikkan. Perasaan ingin tahu lebih dalam selalu terbersit bila kita sudah “diplot” untuk pergi ke suatu tempat yang jauh dari home town kita. Maka tidak heran bila selama di Jepang kita berusaha untuk mencari tahu sesuatu yang “sudah umum” alias “tidak tersembunyi”. Ya, kita ingin tahu tentang kehidupan malam di negeri Sakura ini. Hmm sebatas ingin tahu saja, tidak lebih dari itu.
Jadilah pada suatu sabtu sore, setelah dari pagi sampai siang berkutat dengan dokumen engineering, kami berenam berangkat menuju kota Shinjuku dengan kereta api. Untuk kasus ini, kami tidak bertanya atau meminta informasi kepada teman-teman Jepang, karena selain rasa gengsi muncul juga diantara kami ada satu orang senior yang telah mengerti medan yang akan kita kunjungi. Ya memang senior kita ini pernah mendatangi daerah tersebut sekitar belasan tahun lampau. Dia masih ingat karena menurutnya negeri Jepang tidak terlalu banyak perbedaannya dari tahun ke tahun.
Sekitar jam 7-an kita sampai di Shinjuku. Karena perut belum diisi, maka kita mampir ke sebuah warung di dekat stasiun. Lauk berupa ikan menjadi pilihan saya malam itu dan tentunya disertai dengan “ocha” yang dapat menghangatkan perut. Entah kenapa kalau makan ikan, keinginan melahap nasi Jepang (yang uenak) itu selalu membuncah. Dengan perut penuh, kamipun melangkah pasti mengikuti arahan dari senior kita. Dia bilang kalau tempatnya tidak begitu jauh dari stasiun.
Malam minggu itu suasana Shinjuku betul-betul ramai. Anak-anak muda Jepang, dengan dandanan dibalut jaket warna-warni, bersliweran, lalu-lalang. Mereka kelihatannya akan all out menghabiskan malam panjang ini. Mereka datang dengan lebih banyak yang berkelompok, cukup jarang yang datang hanya berdua, apalagi sendirian. Seperti pasar malam saja suasananya.
Cukup lama juga kami berjalan, tetapi tempat yang kita tuju belum juga tampak di depan mata. Kitapun mulai “ragu” dengan daya ingat senior kita ini. Diapun beralasan, bahwa dulu patokannya adalah sebuah layar televisi besar yang terpampang di sebuah sudut jalan. Walah ya sulit kalau begitu. Jangan-jangan tv tersebut sudah rusak atau dipindah ke tempat lain. Tetapi untunglah, tempat yang bernafaskan hal yang kita cari akhirnya ketemu secara tidak sengaja.
Kitapun berhenti di sebuah tempat dengan aneka iklan mengenai hal yang mirip dengan keinginan kita tersebut. Loket penjualan karcis masuk dijaga oleh dua orang cewek Jepang. Kita bertanya kepada cewek Jepang itu, acara apa yang akan ditampilkan di dalam ruangan. Mereka menjelaskan dengan bahasa Inggris yang sangat dangkal. Untunglah ada gambar atau foto yang dapat membantu penjelasan tersebut, disertai dengan gerakan universal yang melambangkan aktifitas sesuatu. Wah ini tidak sesuai dengan keinginan, begitu kesimpulan kami. Maka kamipun menuju jalanan kembali, untuk mencari di lokasi yang lain.
Beberapa “rumah” kami coba masuki dan bertanya kepada yang jaga di loket. Namun jawaban mereka semuanya relative sama. Apakah memang sudah standard mereka kalau menjawab pertanyaan tentang itu? Apakah kami dikira belum cukup umur? Ataukah kami dianggap agen spionase?
Karena jengah dan capek dalam mencari informasi, maka kamipun beristirahat di pinggir sebuah taman. Menghangatkan badan dengan sekaleng kopi panas yang dibeli dari mesin otomatis. Mengembalikan nafas yang terbuang percuma sambil melihat lalu lalang bangsa berkulit kuning di jalan. Jalanan masih sangat ramai, seperti tidak ada tempat kosong yang disia-siakan.
Tak lama kemudian, datang seorang pemuda Jepang mendatangi kami. Pakaiannya parlente, baju necis, dilengkapi dasi disertai potongan rambut modern. Sedikit berbasa basi dengan bahasa Inggris yang mudah kita cerna, dia menawarkan suatu hiburan yang memang menjadi tujuan kita ke kota ini. Wah ini seperti pucuk dicinta, ulampun tiba. Kamipun menanggapi dengan sungguh-sungguh. Akhirnya dia mengajak kita mengikutinya untuk menuju tempat hiburan yang dimaksud.
Kembali berjalan berbarengan dengan pemuda Jepang itu sebagai pemimpinnya. Mungkin karena takut kita kehilangan jejaknya, karena saking sesaknya jalan, maka sembari jalan di depan dia mengacungkan jarinya sebagai tanda kepada kita bahwa dialah yang harus diikuti. Hmm kayak antrian bebek saja kita ini.
Beberapa kelokan jalan kita lewati, akhirnya pemuda Jepang itu berhenti di sebuah tempat. Dia menunggu kita yang beberapa puluh langkah di belakangnya, maklum langkah orang Jepang sangat cepat. Makin dekat ke pemuda tadi, kamipun makin sadar bahwa jalan yang kita lewati ini sudah kita sambangi tadi. Benar juga, setelah berhenti tepat di depan pemuda tadi, kamipun tepat berdiri di depan rumah hiburan yang pertama kali kami datangi tadi. Kami bertanya kepada pemuda dimana tempatnya. Diapun menunjuk rumah yang sama dengan yang kita maksud. Lha kitapun ngomong kalau ini sudah kita tengok dan tidak ada hiburan semacam yang dia tawarkan itu.
Diapun bilang bahwa pertunjukkan itu sudah tidak ada lagi, sejak beberapa waktu lalu. Dia menjamin bahwa hiburan yang akan dilihat nanti pasti sangat memuaskan. Wah kitapun jadi jengkel. Sudah capek dibuatnya dengan jalan berputar-putar, kembalinya ke tempat semula.
Ya sudah, kita putuskan untuk cabut dari daerah itu. Capek campur jengkel dikibulin sama pemuda Jepang tadi, disamping memang malam sudah menjelang larut. Ah malang benar Shinjuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar