Sabtu, 16 Agustus 2014

Gangster Politik = Oligarki Politik, Sengsarakan Rakyat

http://surabayapagi.com/index.php?read=Gangster-Politik-=-Oligarki-Politik,--Sengsarakan-Rakyat;f2f2c23b88eaecf168caf29cfda3784b1e3ff0eb1a113ab6861222879996bdb9



Pak Jokowi Yth,
Diakui atau tidak, di Indonesia sekarang ada praktik Gangster politik. Gangster politik berbeda dengan Gangster hukum. Dalam Gangster hukum dilakukan oleh kelompok kejahatan yang terorganisir. Gangster sering dianalogikan semacam Mafia yang memiliki struktur organisasi, kode etik, dan bekerja dengan berbagai cara untuk mengumpulkan uang. Gangster hukum ada tingkatannya, dari jalanan seperti Gangster pencuri sepeda motor sampai Gangster penyelundupan maupun mafia minyak dan gas. Gangster penyelundupan melibatkan petugas bea cukai dan kepolisian serta aparat lain. Sementara Gangster minyak dan gas, melibatkan kementerian, BUMN dan DPR-RI.

Gangster sebagai kejahatan terorganisir dan terstruktur, dalam praktiknya telah tumbuh saat tindakan kriminal sudah menjadi mata pencaharian utama sekelompok orang tertentu. Gangster-gangster kelas dunia di Jepang bernama Yakuza, di China dikenal dengan nama Triad, di Rusia dinamakan Bratva, sementara di Eropa dikenal dengan sebutan Gangster. Di Indonesia, Gangster kriminal menggunakan nama perorangan yang disegani. Perorangan ini memiliki akses ke petinggi partai politik, penegak hukum dan organisasi kemasyarakatan.
Dari data yang saya akses, semua pelaku Gangster telah membentuk organisasi yang bergerak rapi. Kepala Gangster umumnya memiliki wilayah. Arti wilayah bisa suatu kota, suatu Negara atau bahkan suatu kawasan antar Negara.

Biasanya Gangster berkualitas dipimpin oleh seorang yang berpengalaman. Pemimpin Gangster umumnya menguasai jaringan serta sistem kejahatan khusus. Dalam dunia kejahatan sampai kini ada sejumlah tokoh gangster terkenal seperti Carlo Gambino, Salvatore Riina, Tsinobu Tsukasa dan Al Capone. Sementara di Indonesia ada nama Kusni Kasdut. Tipologi pemimpin Gangster tidak seperti pelaku kriminal umumnya. Untuk menjadi pimpinan Gangster yang disegani dan menguasai wilayah tertentu, mereka harus terdiri orang yang cerdas, berduit, memiliki pengaruh fungsional, telah memiliki ribuan pekerja atau pengikut, mengenakan pakaian dan barang mewah, dan telah memiliki jaringan dengan aparat keamanan, politik dan penegak hukum sebagai relasi bisnis.
Pak Jokowi Yth,

Nah oligarki politik tak beda dengan Gangster kriminal. Nama lain dari oligarki politik adalah Gangster politik. Maka itu untuk dan atas nama semangat idealisme, saya pikir Indonesia perlu melakukan perubahan mental secara terstruktur dan sistemik. Terutama perubahan mental di kalangan birokrat, penyelenggara Negara, anggota parlemen, penegak hukum dan elite-elite partai politik serta Organisasi Kemasyarakatan.
Perubahan mental bagi seluruh masyarakat Indonesia itu adalah pengabdian yang terbaik bagi rakyat Indonesia. Jadi Anda sebagai presiden pilihan rakyat wajar dituntut untuk menjadi lokomotif gerakan revolusi mental Indonesia, termasuk menghentikan bahkan menghabiskan praktik culas Gangster politik. (baca tulisan saya berikutnya khusus tentang revolusi mental).

Merujuk pada Gangster hukum, tidak ada pilihan lain bagi presiden yang memegang amanah rakyat harus berani, mau dan mampu menghentikan politik oligarki di Indonesia, yaitu praktik politik oligarki yang terjadi di pemerintahan. Sebab politik oligarki tidak mensejahterakan rakyat Indonesia. Oligarki politik atau Gangster politik bahkan cenderung menyengsarakan rakyat Indonesia yang mayoritas, karena politik oligarki hanya menguntungkan segelintir orang Indonesia di sekitar elite nasional. Dalam penelitian yang pernah saya lakukan, baik menggunakan metode sampling maupun partisipasi, politik oligarki sering melahirkan transaksi bisnis dan transaksi bisnis melahirkan praktik oligarki ekonomi.

Mengapa demikian? Karena politik oligarki, merupakan sistem politik yang membuat pengambilan keputusan-keputusan strategis hanya dikuasai oleh sekelompok elit penguasa partai politik saja. Negeri ini seolah milik nenek-moyangnya, milik orangtuanya, milik mertua atau dimiliki kroni-kroninya. Ini yang membuat presiden Indonesia tidak pernah mampu mensejahterakan rakyat Indonesia untuk hidup secara adil dan sejahtera. Oleh karena itu, sampai tahun 2014, jabatan pimpinan parpol menjadi rebutan banyak pihak. otomatis jabatan capres pun diperebutkan oleh sejumlah pimpinan partai politik.

Diantara pimpinan parpol yang sekarang masih berkibar tidak sedikit yang menggunakan uang untuk mendukung capresnya. Bahkan ada pimpinan Ormas yang memiliki jaringan bisnis finansial rela bergabung dengan capres itu. Apa motifnya? Secara ekonomi-politik jawabannya jelas yaitu untuk mempertahankan dinasti usahanya agar lancar dengan pemerintahan yang pro-status-qou, bukan pemerintahan yang pro-rakyat. Jadi, dari meja redaksi, saya yang telah bergaul dengan elita partai sejak tahun 1980an dan pelaku bisnis sejak tahun 1988 serta penegak hukum sejak tahun 1976 menganggap (menilai dan mengakui) hampir tak ada parpol (pimpinannya sekaligus elite-elitenya) yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat.

Dalam kalkulasi politik selama bergaul dengan mereka, saya cenderung berpendapat bahwa jabatan-jabatan di parpol pusat dan daerah yang tersandera oleh politik uang. Adalah realita politik bila dalam meraih jabatan di legislatif dan eksekutif, banyak caleg yang harus mengeluarkan uang, baik dari kocek pribadinya maupun dana partisipasi dari pihak tertentu yang mau mendukungnya. Alhasil, pengembaliannya melalui proyek-proyek yang menggunakan dana APBN dan APBD saat mereka terpilih sebagai anggota legislatif atau jabatan di eksekutif. Penggunaan dana melalui proyek yang dikerjakan swasta adalah praktik korupsi untuk mengembalikan dana yang pernah dikeluarkan oleh daoke atau cukong-cukong politik. Maka itu, saya sendiri heran ada apa diantara pengusaha, pimpinan ormas dan politik mau bergabung dengan capres yang tidak memiliki pengalaman positif di pemerintahan. Bahkan ada mantan pejabat lembaga negara yang pernah bicara kritis soal oligarki politik mau bergabung dengan capres yang didukung oleh parpol-parpol yang cenderung mempertahankan statusquo.

Bagi saya, siapapun yang kemarin memilih capres yang tidak memiliki rekam jejak negatif dalam tindak pidana korupsi adalah golongan warga negara Indonesia yang telah memiliki kesadaran tinggi untuk tidak memilih pemimpin yang tersandera politik oligarki ataupun politik transaksional. Artinya Anda sebagai warga negara yang telah dianggap presidennya rakyat perlu sujud syukur mengucapkan alhamdulillah.

Pak Jokowi Yth,
Pengalaman yang saya cermati, politik oligarki tidak hanya menggerogoti aspek ekonomi saja, tetapi juga menyebabkan aspek pembangunan hukum berjalan timpang. Ketimpangan ini bisa dimulai dari pembentukan atau pengesahan Undang-udang di DPR-RI ( substansi hukum), kemudian diikuti dengan praktik suap,sogok,gratifikasi dan rekayasa perkara sejak di tingkat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan (struktur hukum).

Mengikuti perjalanan penegakkan hukum dari tingkat penyidikan di kota Surabaya sampai praktik di Mahkamah Agung Jakarta, saya berani menyatakan bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini tetap masih sangat mengkhawatirkan. Artinya, penyidik yang telah memiliki arah baik UU tentang KUHAP, UU Kepolisian maupun arah dari Kapolri mengenai penyelidik dan penyidik harus menjalankan peran polisi yang profesional dan proporsional, masih sering tidak dimengerti oleh sebagian besar anggota Polri, sehingga masih banyak pencari keadilan yang melapor ke Kompolnas atau KPK atau Propam.

Demikian juga praktik di pengadilan yang seharusnya menjadi lembaga tempat masyarakat untuk mencari keadilan, tapi sampai kini masih dicederai oleh tindakan korup yang dilakukan oleh para penegak hukum. Praktik curang yang terjadi di lembaga peradilan adalah tertangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar, akibat kasus suap dalam Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Timur dan Kabupaten Lebak, Banten. Semua ini tidak bisa dilepaskan dari produk oligarki politik. Maka itu, untuk bisa mengubah praktik curang dalam penegakkan hukum adalah dengan cara mengubah wajah perpolitikan Indonesia yang telah terlanjur dikuasai oleh kepentingan kelompok tertentu, sehingga menciptakan oligarki politik.

Maka itu, saya tidak mau diajak untuk terjun dalam politik praktis. Mengapa? Karena dalam politik praktis, penuh dengan kepentingan perorangan (vested interest), cenderung siapa makan siapa (kanibalis), intrik politik dan pengkianatan semu. Bila saya ditawari masuk dalam struktur pemerintahan pusat, hal utama dan mendesak yang akan saya jalankan lebih dulu adalah jaminan bahwa elite parpol itu anti oligarki politik.

Bila demikian, saya berani membuat fakta integritas untuk mengkikis oligarki politik sejak dari pemerintahan pusat. Mengingat, bagi saya pribadi, berpolitik praktis di Indonesia yang membela kepentingan rakyat banyak (keluarga miskin dan berpotensi miskin) tidak harus berafiliasi dengan parpol pendukung status-qou. Partai politik demikian sudah saatnya ditinggalkan. Mengapa? karena partai politik status-qou tidak bisa diajak memperbaiki sistem pemerintahan yang benar-benar pro-rakyat. Partai polirik yang pro-status-qou cenderung mengabaikan cia-cita founding father seperti dirumuskan dalam pembukaan alinea ke-4, UUD 1945.

Oleh karena itu, saya termasuk warganegara Indonesia yang bersedih, sebab sampai SBY memerintah yang kedua, pemerintahannya masih dikendalikan oleh segelintir orang kaya yang ada di partai politik pro-status-qou. Maka itu, saya sedih sekaligus kecewa mengapa SBY yang dipercaya oleh rakyat sampai dua kali pemilihan presiden secara langsung, masih belum bisa mengkikis praktik oligarki politik?
Pertanyaannya, apakah SBY sendiri yang tidak berdaya menghadapi gangster politik? Ataukah gangster politik sudah mencengkeram dihampir semua lini kelembagaan di Indonesia. Atau bahkan hampir semua partai politik telah terdiri elite-elite partai politik yang berkongsi dengan gangster ekonomi dalam politik praktis.

Dalam kalkulasi saya, kegelisahan atau kegundahan tentang Oligarki, sebenarnya tidak hanya terjadi pasca reformasi 1998 ini. Problema Oligarki telah menjadi tema kajian sejak jaman Yunani kuno. Saat itu, Aristoteles, murid Plato, membagi kekuasaan dalam tiga bentuk, yakni Monarkhi-dengan varian Tirani, Aristokrasi-dengan varian Oligarki, dan Polity atau pemerintahan konstitusional.

Pertanyaan menjelang Anda dilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada bulan Oktober 2014, ada teka-teki yang perlu Anda umumkan benarkah oligarki politik sampai pemerintahan SBY, telah dijadikan kebutuhan teknis oleh sekelompok elite untuk mensejahterakan kader dan simpatisan partai politik yang dipimpinnya. Ataukah oligarki politik sebagai dampak dari transformasi psikis dari pemimpin-pemimpin partai yang pro status-qou sepanjang hidupnya. Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak rela bila tidak selalu dalam pemerintahan. Misalnya Akbar Tanjung. Ia termasuk elite politik gaek ini yang sudah malang-melintang di politik praktis sejak Soeharto berkuasa. Baginya, mengelola, merawat dan melestarikan praktik oligarki politik adalah bagian dari “psikologi organisasi itu sendiri”. konsepsinya yakni bagaimana ia dapat terus berada dalam ring kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan taktis dan teknis dalam mengelola asset-aset negara. Dengan kemampuan yang demikian, maka ‘’bisnis politik’’ yang dilakukan adalah lebih banyak berasal dari fasilitas pemerintah sekaligus penggalian sumber-sumber daya alam. Proyek itu telah dijalankan bertahun-tahun sejak Orde Baru. Jadi , tidak iklas, bila proyek bernilai triliun diambil lagi oleh pemerintah untuk dikelola secara kolektif sesuai Pesan Pasal 33 UUD 1945. Saatnya Anda dan tim yang didukung rakyat membuktikan, anti pengelolaan pemerintahan yang pro-status-qou. (Bersambung, tatangistawan@gmail.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar