http://surabayapagi.com/index.php?read=Ahli-Hukum-Dalam-Politik-Oligarki,-Bisa-Bengkokkan-Hukum;f2f2c23b88eaecf168caf29cfda3784b8cb09d28c1c106876de9c023706270b7

TERKAIT:
Pak Jokowi Yth,
Saat diselenggarakan debat capres di televisi, semula saya menyamakan dengan debat kusir yaitu debat dengan jebakan, debat tanpa ujung dan debat tanpa substansi. Anda, pada awal-awal debat, kelihatan polos. Saya mencatat Anda sedikit bicara retorika, sehingga sering tidak tejebak dibanding capres kompetitor Anda. Kini terbukti bahwa capres yang banyak mengumbar janji, menurut perhitungan KPU, perolehannya dibawah capres yang bicara riil-riil di masyarakat.
Setelah rekapitulasi suara manual yang diselenggarakan oleh KPU, saya berpendapat bahwa janji politisi memiliki idealisme yang usianya bisa seumur jagung. Artinya janji-janji kampanyenya bisa berakhir begitu mereka berkuasa atau tidak terpilih. Saya tidak tahu benarkah koalisi partai politik yang mendukung Anda dapat dianggap mewakili organisasi modern dalam sebuah negara yang demokratis?. Saya berharap, Anda yang didukung rakyat dan seniman, budayawan dan pelaku idustri kreatif tidak termasuk pelaku dalam politik praktis yang hanya ramai ketika kampanye, tetapi ketika berkuasa (menjelang) mulai surut, Anda saya harap terus survival mewujudkan janji-janji politik Anda.
Saya berharap, saat berkuasa nanti, Anda jangan mengajak sebuah kelas untuk turut memaksakan tatanan kelas masyarakat lainnya. Ini keniscayaan, karena pemerintah yang pernah Anda bayangkan ketika kampanye adalah organisasi politik milik mayoritas orang Indonesia dan bukan sekelompok minoritas. Saya percaya, Anda tidak menghidupkan oligarki, yang selama ini menguasai pemerintahan. Bagi rakyat kecil, politik oligarki dianggap sebuah pemerintahan oleh sekelompok orang yang berwatak menindas atau memaksakan kehendak.
Oleh karena itu, Anda perlu mewaspadai bahwaOligarki bisa muncul menjadi salah satu wajah demokrasi. Maka itu, Oligarki akan selalu ditentang oleh para idealis yang berteriak menuntut perubahan.
Saya mencatat setelah Orde Baru berakhir, format kekuasaan yang dihasilkan melalui reformasi tidak lagi memberikan kekuasaan yang tersentralisasi di tangan presiden. Partai-partai politik menempati kekuasaan yang jauh lebih besar dari masa sebelumnya. Partai politik pemenang Pilpres dua kali periode telah menjadi rumah bagi para politisi, sekaligus menjadi tempat untuk meraih kekayaan atau menyelamatkan kekayaannya. Di sanalah, selain birokrasi, menjadi tempat bersandar baru bagi para pengusaha pemburu rente (rent seekers). Praktek rent seeking sepertinya telah menjadi fenomena yang massif, baik dalam intensitas, kuantitas maupun jangkauannya. Bahkan, desentralisasi kekuasaan yang berlebihan dalam otonomi daerah turut mendorong praktek perburuan rente hingga menjangkau daerah. Sebagai contoh adalah transaksi alokasi keuangan daerah yang melibatkan para oligark (elite partai, birokrat, swasta) yang sekaligus rent seekers baik pada level pusat maupun daerah, mengatur alokasi proyek, ijin usaha, perda, dan sebagainya.
Bagi sejumlah birokrat, tahu bahwa modus rent seeking dilakukan melalui kecenderungan birokrasi untuk memperbesar anggaran. Birokrasi memperbesar anggaran dengan dua cara yaitu melakukan ekspansi birokrasi dan memaksimumkan pemborosan. Ekspansi birokrasi dilakukan dengan cara memperbesar organisasi, memperbanyak prosedur, dan memasukkan kegiatan yang dapat disediakan pasar menjadi kegiatan yang dimonopoli oleh pemerintah. Sedangkan pemborosan dilakukan dengan cara memperbesar biaya per-unit pelayanan, memperbanyak perjalanan, dan menambah jumlah pegawai untuk menjalankan fungsi pelayanan umum.
Realitas tersebut menunjukan bahwa sistem hukum tidak berjalan secara efektif dalam praktek demokrasi di Indonesia. Bahkan reformasi dan jatuhnya kekuasaan Soeharto tidak lantas paralel dengan penguatan sistem hukum dan berakhirnya kekuasaan para oligark. Dalam oligarki sipil yang seharusnya ditopang oleh sistem hukum yang kuat ternyata justru tidak terjadi di Indonesia, dan menjadi momentum bagi para oligark untuk memanfaatkan kelemahan ini dalam upaya melindungi dan mengembangkan kekayaannya. Para oligark politik itu, dalam catatan sejak Orde Baru, harus diakui terlalu menguasai hukum, sehingga kebal hukum.
Jasa terbesar yang disumbangkan oleh Jeffrey Winters adalah mengungkap luasan dan besaran jaringan berbagai profesi dalam industri pertahanan pendapatan. Disana, ada ahli hukum, pengacara, mafia pajak, mafia lingkungan, makelar kasus, konsultan manajemen, akuntan, aparat negara dan lembaga-lembaga hukum. Semuanya bertugas bukan untuk menegakkan hukum, ada yang malah membengkokkan hukum agar berpihak dan melindungi kepentingan oligarki keuangan dan properti yang ditangani. Begitu pula demokrasi elektoral di Indonesia yang saat ini berjalan beriringan dengan sistem hukum yang lemah yang terus diinjak-injak sehingga justru menjadi peluang bagi para oligark untuk semakin menancapkan kekuasaannya.
Hal mendasar terkait hubungan antara oligark dan sistem politik terutama antara masa Orde Baru dan pasca Orde Baru adalah pada konteks bagaimana format politik itu dikonstruksi. Jika pada masa Orde Baru, kekuasaan oligark yang demikian besar dan terpusat pada patron politik yang didukung oleh para panglima militer telah menjadikan sistem politik sebagai subordinasi sepenuhnya dari para oligark. Namun, setelah Orde Baru berakhir, para oligark harus berkompromi dengan tuntutan rakyat mengenai demokratisasi politik, kekuasaan tidak lagi tunggal, tetapi tersebar dan terdesentralisasi.
Meski demikian, para oligark secara faktual telah berhasil memanipulasi dan memanfaatkan tuntutan demokratisasi untuk tetap mengendalikan proses politik dan kekuasaan. Mereka bekerja dengan didorong oleh motif utama yaitu pemupukan dan pertahanan kekayaan. Hal ini menunjukan kemampuan para oligark. Mengingat mereka memiliki penguasaan sumberdaya kekuasaan yang masif, terutama kekayaan untuk tetap berkuasa dan kaya. Artinya apapun format politik yang berlangsung, oligarki mengincar dua hal sekaligus yaitu kekuasaan dan kekayaan. Dengan demikian, teori yang dikemukakan oleh Winters memiliki signifikansi yang kuat untuk menjelaskan bagaimana model-model oligarki berkembang di Indonesia berdasarkan perubahan-perubahan politik yang berlangsung.
Pak Jokowi Yth,
Ketika Orde Baru berkuasa, Anda belum menjadi Walikota Solo. Saat Orde Baru memimpin negeri ini, Anda masih sebagai wirausaha mebel. Anda menyadari atau tidak, saat itu pemimpin Orde Baru cenderung mencontoh model pembangunan yang kapitalistik. Model yang kapitalistik ini dipraktekan dengan besarnya peran dan membiarkan tehnologi berkembang. Model inilah yang oleh Kunio disebut sebagai kapitalisme semu atauersatz capitalism. Kapitalisme semu ini dicirikan secara lengkap dengan pentingnya keberadaan modal asing, besarnya peranan negara, tingkat tehnologi yang rendah, dan dominasi modal domestik non pribumi.
Saat Orde Baru, bermunculan konglomerat keturunan. Ada Liem Sie Liong, Sudwikatmono, Prayogo Pangestu dan Bob Hassan. Di kalangan pribumi ada Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Hasyim Ning dan Abdul Latif. Para pengusaha atau oligark ini berada di sekitar pusaran kekuasaan presiden Soeharto. Model yang muncul dari peran mereka dalam menjalankan pembangunan ekonomi adalah mengeruk keuntungan secara tidak tanggung-tanggung. Mereka muncul sebagai kekuatan ekonomi menengah-besar yang menyandarkan diri pada patronase politik kepada pengusaha rezim Orde Baru. Ironisnya, kekuatan ekonomi kecil, terutama modal domestik pribumi hanya menikmati sebagian kecil recehan kue pembangunan.
Sejak Orde Baru, saya memiliki data bahwa praktek oligarki telah berkontribusi terhadap munculnya kesenjangan akses terhadap ekonomi dan ketidakmerataan distribusi kue pembangunan. Menjelang akhir kekuasaan Soeharto, faktor kesenjangan ekonomi ini yang mengekskalasi gerakan menjatuhkan kekuasaan Presiden Soeharto.
Dalam catatan yang saya miliki, model pembangunan Orde Baru telah menyebabkan terjadinya keterasingan masyarakat dari lingkaran kekuasaan dan pusat pembuatan kebijakan. Artinya sebagian besar masyarakat lebih menjadi korban aktivitas pembangunan daripada subjek pembangunan. Mengapa? Karena jumlah masyarakat miskin masih sangat dominan.
Sungguh menyedihkan. Ternyata meski kekuasaan Presiden Soeharto berakhir pada tahun 1998, saya mengamati oligarki tidak lantas berakhir. Saya mengidentifikasi pelaku oligarki semakin meluas dan bersinergi dengan sistem politik demokrasi. Para oligark yang sebelumnya merupakan kroni Soeharto menyebar dan bermetamorfosa dalam wajah demokrasi melalui partai-partai politik. Elite politik itu antara lain Aburizal Bakrie, Soetrisno Bachir, Novianto, Agung Laksono, Fadel Muhammad, Wiranto, Prabowo Subianto, dan Arifin Panigoro. Kemudian muncul Harie Tanoe dan Choirul Tanjung.
Para oligark malah ikut mengendalikan partai dan berbagai kekuatan politik. Sebagai contoh adalah Wiranto mengendalikan partai Hanura, Prabowo dengan partai Gerindra, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat. Sementara Partai Golkar sebagai aliansi birokrat-pebisnis-militer yang pernah dibesarkan oleh Soeharto, ada yang beraliansi dengan pebisnis media. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Chairul Tanjung dan Harie Tanoe.
Menurut Winters, Presiden Soeharto telah mewariskan sistem oligarki pada para oligark yang kini menyebar dan mengambil peran menentukan dalam berbagai institusi politik demokrasi. Mereka membawa uang dalam jumlah besar. Dengan uang, oligark telah memainkan peranan yang sangat nyata dalam berbagai aspek. Peranan oligark itu mengelola sumber daya material yang semestinya dimiliki dan dikelola oleh rakyat banyak (Pasal 33 UUD 1945). Sementara sejumlah oligark etnis china masih memainkan peranan besar dari penguasaan sumberdaya yang diwariskan oleh Orde Baru. Mereka tidak terang-terangan berafiliasi politik dengan partai politik dan oligark pribumi. Mengapa? Dalam pandangan Winters, oligark pribumi dianggap tidak cukup kaya dibandingkan etnis china. Bahkan, para oligark pribumi ini memanfaatkan kekuasaan politiknya untuk mencuri kekayaan dari negara secara langsung seperti yang terjadi dengan beberapa skandal, Bruneigate, Bulogate, BLBI, dan terakhir diduga kuat modus yang sama yakni Centurygate.
Secara sosiologis, historis maupun politis, terutama di tingkat pusat, sirkulasi politik lebih memberikan kesempatan pada aktor politik pribumi. Kesempatan untuk dapat terlibat dalam kontestasi kekuasaan. Hal inilah yang membuat para kandidat dalam berbagai jabatan politik lebih didominasi wajah politisi pribumi dibanding keturunan. Padahal, tidak ada aturan yang membatasi oligark keturunan.
Dalam kenyataan, para oligark pribumi harus berhadapan dengan kenyataan yang mereka buat sendiri. Artinya untuk dapat menduduki posisi-posisi penting dalam partai politik atau jabatan pemerintahan, harus siap mengeluarkan dana yang tidak kecil. Praktik semacam ini yang membuka peluang bagi praktek afiliasi dengan oligark lainnya. Selain membuat terjadinya perburuan rente atau munculnya para broker atau makelar kasus. Mereka bekerja untuk memperantarai kebutuhan sumberdaya bagi interest politik para oligark dalam demokrasi kriminal. Makanya, politik oligarki, tak beda dengan Gangster hukum.
Pak Jokowi Yth,
Dalam skala nyata, diakui atau tidak, para oligark, baik keturunan maupun pribumi yang banyak memetik keuntungan melalui pola hubungan transaksional. Termasuk dalam mekanisme demokrasi yang oleh kaum pluralis dikenal adanya tiga mekanisme besar dalam penyaluran ekspresi. Tiga mekanisme itu meliputi opini publik, voting dalam pemilu dan melembagakan protes dan tuntutan.
Saya mengikuti dengan seksama dinamika Demokrasi sejak reformasi tahun 1998. Disadari atau tidak, demokrasi telah memberi ruang kebebasan dan menghadirkan berbagai kekuatan politik. Artinya, bila ketika Orde Baru berkuasa, partai politik dibatasi hanya tiga partai politik. Tetapi pada awal-awal reformasi, jumlah parpol yang mengikuti pemilu sampai 48 partai politik.
Sejarah telah mencatat bahwa meski reformasi telah bergulir, rakyat tetap menjadi objek mobilisasi dan alat legitimasi bagi politik para oligark. Inilah yang mencemaskan dan mengkhawatirkan kelas menengah. Maka itu, saat pencapresan 2014, berkumpulnya partai-partai politik di kubu Prabowo-Hatta, kelas menengah mengkhawatirkan bahwa kubu ini mewadahi oligarki ekonomi. Ada Ical dan Akbar Tanjung serta Novianto dari Partai Golkar. Ada Hatta Rajasa dari PAN. Ada MS Kaban, dari PBB. Dibalik mereka masih ada penguasa bisnis minyak, tambang dan gas. Berkumpulnya para oligark ekonomi dalam kubu Prabowo-Hatta dikawatirkan melestarikan dan mengendalikan atas kekuasaan sekaligus politik praktis. Itu artinya mereka terus melakukan pemupukan serta pertahanan kekayaan atas sumber daya alam. Ada kelas menengah yang mengkhawatirkan berkumpulnya elite partai politik atau politik oligarki di kubu Prabowo-Hatta bisa melestarikan kartel politik.
Maka itu, kelas menengah dan kalangan akademisi mencermati perubahan politik yang mengatasnamakan demokratisasi. Perubahan ini justru membuat sistem politik kita menjadi plutokrasi dan kleptokrasi. Orang kaya dan para atau perampok negara (koruptor-gangster politik) secara tidak langsung "telah" menjadi pemegang kekuasaan di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kenyataannya, ada diantara rakyat Indonesia yang merasakan secara langsung, ada yang baru tahap mendengar dan tidak sedikit yang sedang mencermati bahwa gangster politik adalah elite politik yang membangun kroni-kroni dalam skala masif dan sistemik sampai di daerah. Artinya, ada yang bermain dan memainkan proyek APBN di kementerian Olahraga seperti Nazaruddin, Anggelina Sondakh, Andy Malaranggeng dan Anas Urbaningrum. Keempatnya elite Partai Demokrat, partai penguasa. (bersambung, tatangistiawan@gmail.com)
Saat diselenggarakan debat capres di televisi, semula saya menyamakan dengan debat kusir yaitu debat dengan jebakan, debat tanpa ujung dan debat tanpa substansi. Anda, pada awal-awal debat, kelihatan polos. Saya mencatat Anda sedikit bicara retorika, sehingga sering tidak tejebak dibanding capres kompetitor Anda. Kini terbukti bahwa capres yang banyak mengumbar janji, menurut perhitungan KPU, perolehannya dibawah capres yang bicara riil-riil di masyarakat.
Setelah rekapitulasi suara manual yang diselenggarakan oleh KPU, saya berpendapat bahwa janji politisi memiliki idealisme yang usianya bisa seumur jagung. Artinya janji-janji kampanyenya bisa berakhir begitu mereka berkuasa atau tidak terpilih. Saya tidak tahu benarkah koalisi partai politik yang mendukung Anda dapat dianggap mewakili organisasi modern dalam sebuah negara yang demokratis?. Saya berharap, Anda yang didukung rakyat dan seniman, budayawan dan pelaku idustri kreatif tidak termasuk pelaku dalam politik praktis yang hanya ramai ketika kampanye, tetapi ketika berkuasa (menjelang) mulai surut, Anda saya harap terus survival mewujudkan janji-janji politik Anda.
Saya berharap, saat berkuasa nanti, Anda jangan mengajak sebuah kelas untuk turut memaksakan tatanan kelas masyarakat lainnya. Ini keniscayaan, karena pemerintah yang pernah Anda bayangkan ketika kampanye adalah organisasi politik milik mayoritas orang Indonesia dan bukan sekelompok minoritas. Saya percaya, Anda tidak menghidupkan oligarki, yang selama ini menguasai pemerintahan. Bagi rakyat kecil, politik oligarki dianggap sebuah pemerintahan oleh sekelompok orang yang berwatak menindas atau memaksakan kehendak.
Oleh karena itu, Anda perlu mewaspadai bahwaOligarki bisa muncul menjadi salah satu wajah demokrasi. Maka itu, Oligarki akan selalu ditentang oleh para idealis yang berteriak menuntut perubahan.
Saya mencatat setelah Orde Baru berakhir, format kekuasaan yang dihasilkan melalui reformasi tidak lagi memberikan kekuasaan yang tersentralisasi di tangan presiden. Partai-partai politik menempati kekuasaan yang jauh lebih besar dari masa sebelumnya. Partai politik pemenang Pilpres dua kali periode telah menjadi rumah bagi para politisi, sekaligus menjadi tempat untuk meraih kekayaan atau menyelamatkan kekayaannya. Di sanalah, selain birokrasi, menjadi tempat bersandar baru bagi para pengusaha pemburu rente (rent seekers). Praktek rent seeking sepertinya telah menjadi fenomena yang massif, baik dalam intensitas, kuantitas maupun jangkauannya. Bahkan, desentralisasi kekuasaan yang berlebihan dalam otonomi daerah turut mendorong praktek perburuan rente hingga menjangkau daerah. Sebagai contoh adalah transaksi alokasi keuangan daerah yang melibatkan para oligark (elite partai, birokrat, swasta) yang sekaligus rent seekers baik pada level pusat maupun daerah, mengatur alokasi proyek, ijin usaha, perda, dan sebagainya.
Bagi sejumlah birokrat, tahu bahwa modus rent seeking dilakukan melalui kecenderungan birokrasi untuk memperbesar anggaran. Birokrasi memperbesar anggaran dengan dua cara yaitu melakukan ekspansi birokrasi dan memaksimumkan pemborosan. Ekspansi birokrasi dilakukan dengan cara memperbesar organisasi, memperbanyak prosedur, dan memasukkan kegiatan yang dapat disediakan pasar menjadi kegiatan yang dimonopoli oleh pemerintah. Sedangkan pemborosan dilakukan dengan cara memperbesar biaya per-unit pelayanan, memperbanyak perjalanan, dan menambah jumlah pegawai untuk menjalankan fungsi pelayanan umum.
Realitas tersebut menunjukan bahwa sistem hukum tidak berjalan secara efektif dalam praktek demokrasi di Indonesia. Bahkan reformasi dan jatuhnya kekuasaan Soeharto tidak lantas paralel dengan penguatan sistem hukum dan berakhirnya kekuasaan para oligark. Dalam oligarki sipil yang seharusnya ditopang oleh sistem hukum yang kuat ternyata justru tidak terjadi di Indonesia, dan menjadi momentum bagi para oligark untuk memanfaatkan kelemahan ini dalam upaya melindungi dan mengembangkan kekayaannya. Para oligark politik itu, dalam catatan sejak Orde Baru, harus diakui terlalu menguasai hukum, sehingga kebal hukum.
Jasa terbesar yang disumbangkan oleh Jeffrey Winters adalah mengungkap luasan dan besaran jaringan berbagai profesi dalam industri pertahanan pendapatan. Disana, ada ahli hukum, pengacara, mafia pajak, mafia lingkungan, makelar kasus, konsultan manajemen, akuntan, aparat negara dan lembaga-lembaga hukum. Semuanya bertugas bukan untuk menegakkan hukum, ada yang malah membengkokkan hukum agar berpihak dan melindungi kepentingan oligarki keuangan dan properti yang ditangani. Begitu pula demokrasi elektoral di Indonesia yang saat ini berjalan beriringan dengan sistem hukum yang lemah yang terus diinjak-injak sehingga justru menjadi peluang bagi para oligark untuk semakin menancapkan kekuasaannya.
Hal mendasar terkait hubungan antara oligark dan sistem politik terutama antara masa Orde Baru dan pasca Orde Baru adalah pada konteks bagaimana format politik itu dikonstruksi. Jika pada masa Orde Baru, kekuasaan oligark yang demikian besar dan terpusat pada patron politik yang didukung oleh para panglima militer telah menjadikan sistem politik sebagai subordinasi sepenuhnya dari para oligark. Namun, setelah Orde Baru berakhir, para oligark harus berkompromi dengan tuntutan rakyat mengenai demokratisasi politik, kekuasaan tidak lagi tunggal, tetapi tersebar dan terdesentralisasi.
Meski demikian, para oligark secara faktual telah berhasil memanipulasi dan memanfaatkan tuntutan demokratisasi untuk tetap mengendalikan proses politik dan kekuasaan. Mereka bekerja dengan didorong oleh motif utama yaitu pemupukan dan pertahanan kekayaan. Hal ini menunjukan kemampuan para oligark. Mengingat mereka memiliki penguasaan sumberdaya kekuasaan yang masif, terutama kekayaan untuk tetap berkuasa dan kaya. Artinya apapun format politik yang berlangsung, oligarki mengincar dua hal sekaligus yaitu kekuasaan dan kekayaan. Dengan demikian, teori yang dikemukakan oleh Winters memiliki signifikansi yang kuat untuk menjelaskan bagaimana model-model oligarki berkembang di Indonesia berdasarkan perubahan-perubahan politik yang berlangsung.
Pak Jokowi Yth,
Ketika Orde Baru berkuasa, Anda belum menjadi Walikota Solo. Saat Orde Baru memimpin negeri ini, Anda masih sebagai wirausaha mebel. Anda menyadari atau tidak, saat itu pemimpin Orde Baru cenderung mencontoh model pembangunan yang kapitalistik. Model yang kapitalistik ini dipraktekan dengan besarnya peran dan membiarkan tehnologi berkembang. Model inilah yang oleh Kunio disebut sebagai kapitalisme semu atauersatz capitalism. Kapitalisme semu ini dicirikan secara lengkap dengan pentingnya keberadaan modal asing, besarnya peranan negara, tingkat tehnologi yang rendah, dan dominasi modal domestik non pribumi.
Saat Orde Baru, bermunculan konglomerat keturunan. Ada Liem Sie Liong, Sudwikatmono, Prayogo Pangestu dan Bob Hassan. Di kalangan pribumi ada Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Hasyim Ning dan Abdul Latif. Para pengusaha atau oligark ini berada di sekitar pusaran kekuasaan presiden Soeharto. Model yang muncul dari peran mereka dalam menjalankan pembangunan ekonomi adalah mengeruk keuntungan secara tidak tanggung-tanggung. Mereka muncul sebagai kekuatan ekonomi menengah-besar yang menyandarkan diri pada patronase politik kepada pengusaha rezim Orde Baru. Ironisnya, kekuatan ekonomi kecil, terutama modal domestik pribumi hanya menikmati sebagian kecil recehan kue pembangunan.
Sejak Orde Baru, saya memiliki data bahwa praktek oligarki telah berkontribusi terhadap munculnya kesenjangan akses terhadap ekonomi dan ketidakmerataan distribusi kue pembangunan. Menjelang akhir kekuasaan Soeharto, faktor kesenjangan ekonomi ini yang mengekskalasi gerakan menjatuhkan kekuasaan Presiden Soeharto.
Dalam catatan yang saya miliki, model pembangunan Orde Baru telah menyebabkan terjadinya keterasingan masyarakat dari lingkaran kekuasaan dan pusat pembuatan kebijakan. Artinya sebagian besar masyarakat lebih menjadi korban aktivitas pembangunan daripada subjek pembangunan. Mengapa? Karena jumlah masyarakat miskin masih sangat dominan.
Sungguh menyedihkan. Ternyata meski kekuasaan Presiden Soeharto berakhir pada tahun 1998, saya mengamati oligarki tidak lantas berakhir. Saya mengidentifikasi pelaku oligarki semakin meluas dan bersinergi dengan sistem politik demokrasi. Para oligark yang sebelumnya merupakan kroni Soeharto menyebar dan bermetamorfosa dalam wajah demokrasi melalui partai-partai politik. Elite politik itu antara lain Aburizal Bakrie, Soetrisno Bachir, Novianto, Agung Laksono, Fadel Muhammad, Wiranto, Prabowo Subianto, dan Arifin Panigoro. Kemudian muncul Harie Tanoe dan Choirul Tanjung.
Para oligark malah ikut mengendalikan partai dan berbagai kekuatan politik. Sebagai contoh adalah Wiranto mengendalikan partai Hanura, Prabowo dengan partai Gerindra, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat. Sementara Partai Golkar sebagai aliansi birokrat-pebisnis-militer yang pernah dibesarkan oleh Soeharto, ada yang beraliansi dengan pebisnis media. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Chairul Tanjung dan Harie Tanoe.
Menurut Winters, Presiden Soeharto telah mewariskan sistem oligarki pada para oligark yang kini menyebar dan mengambil peran menentukan dalam berbagai institusi politik demokrasi. Mereka membawa uang dalam jumlah besar. Dengan uang, oligark telah memainkan peranan yang sangat nyata dalam berbagai aspek. Peranan oligark itu mengelola sumber daya material yang semestinya dimiliki dan dikelola oleh rakyat banyak (Pasal 33 UUD 1945). Sementara sejumlah oligark etnis china masih memainkan peranan besar dari penguasaan sumberdaya yang diwariskan oleh Orde Baru. Mereka tidak terang-terangan berafiliasi politik dengan partai politik dan oligark pribumi. Mengapa? Dalam pandangan Winters, oligark pribumi dianggap tidak cukup kaya dibandingkan etnis china. Bahkan, para oligark pribumi ini memanfaatkan kekuasaan politiknya untuk mencuri kekayaan dari negara secara langsung seperti yang terjadi dengan beberapa skandal, Bruneigate, Bulogate, BLBI, dan terakhir diduga kuat modus yang sama yakni Centurygate.
Secara sosiologis, historis maupun politis, terutama di tingkat pusat, sirkulasi politik lebih memberikan kesempatan pada aktor politik pribumi. Kesempatan untuk dapat terlibat dalam kontestasi kekuasaan. Hal inilah yang membuat para kandidat dalam berbagai jabatan politik lebih didominasi wajah politisi pribumi dibanding keturunan. Padahal, tidak ada aturan yang membatasi oligark keturunan.
Dalam kenyataan, para oligark pribumi harus berhadapan dengan kenyataan yang mereka buat sendiri. Artinya untuk dapat menduduki posisi-posisi penting dalam partai politik atau jabatan pemerintahan, harus siap mengeluarkan dana yang tidak kecil. Praktik semacam ini yang membuka peluang bagi praktek afiliasi dengan oligark lainnya. Selain membuat terjadinya perburuan rente atau munculnya para broker atau makelar kasus. Mereka bekerja untuk memperantarai kebutuhan sumberdaya bagi interest politik para oligark dalam demokrasi kriminal. Makanya, politik oligarki, tak beda dengan Gangster hukum.
Pak Jokowi Yth,
Dalam skala nyata, diakui atau tidak, para oligark, baik keturunan maupun pribumi yang banyak memetik keuntungan melalui pola hubungan transaksional. Termasuk dalam mekanisme demokrasi yang oleh kaum pluralis dikenal adanya tiga mekanisme besar dalam penyaluran ekspresi. Tiga mekanisme itu meliputi opini publik, voting dalam pemilu dan melembagakan protes dan tuntutan.
Saya mengikuti dengan seksama dinamika Demokrasi sejak reformasi tahun 1998. Disadari atau tidak, demokrasi telah memberi ruang kebebasan dan menghadirkan berbagai kekuatan politik. Artinya, bila ketika Orde Baru berkuasa, partai politik dibatasi hanya tiga partai politik. Tetapi pada awal-awal reformasi, jumlah parpol yang mengikuti pemilu sampai 48 partai politik.
Sejarah telah mencatat bahwa meski reformasi telah bergulir, rakyat tetap menjadi objek mobilisasi dan alat legitimasi bagi politik para oligark. Inilah yang mencemaskan dan mengkhawatirkan kelas menengah. Maka itu, saat pencapresan 2014, berkumpulnya partai-partai politik di kubu Prabowo-Hatta, kelas menengah mengkhawatirkan bahwa kubu ini mewadahi oligarki ekonomi. Ada Ical dan Akbar Tanjung serta Novianto dari Partai Golkar. Ada Hatta Rajasa dari PAN. Ada MS Kaban, dari PBB. Dibalik mereka masih ada penguasa bisnis minyak, tambang dan gas. Berkumpulnya para oligark ekonomi dalam kubu Prabowo-Hatta dikawatirkan melestarikan dan mengendalikan atas kekuasaan sekaligus politik praktis. Itu artinya mereka terus melakukan pemupukan serta pertahanan kekayaan atas sumber daya alam. Ada kelas menengah yang mengkhawatirkan berkumpulnya elite partai politik atau politik oligarki di kubu Prabowo-Hatta bisa melestarikan kartel politik.
Maka itu, kelas menengah dan kalangan akademisi mencermati perubahan politik yang mengatasnamakan demokratisasi. Perubahan ini justru membuat sistem politik kita menjadi plutokrasi dan kleptokrasi. Orang kaya dan para atau perampok negara (koruptor-gangster politik) secara tidak langsung "telah" menjadi pemegang kekuasaan di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kenyataannya, ada diantara rakyat Indonesia yang merasakan secara langsung, ada yang baru tahap mendengar dan tidak sedikit yang sedang mencermati bahwa gangster politik adalah elite politik yang membangun kroni-kroni dalam skala masif dan sistemik sampai di daerah. Artinya, ada yang bermain dan memainkan proyek APBN di kementerian Olahraga seperti Nazaruddin, Anggelina Sondakh, Andy Malaranggeng dan Anas Urbaningrum. Keempatnya elite Partai Demokrat, partai penguasa. (bersambung, tatangistiawan@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar