Jumat, 25 April 2014

Kartini, Literasi Kritis, dan Digitalisasi

http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/Kartini-Literasi-Kritis-dan-Digitalisasi

http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/



Kartini, Literasi Kritis, dan Digitalisasi

Oleh: Ella Yulaelawati
Sekretaris Direktorat Jenderal PAUDNI
Dahulu, wanita-wanita di Indonesia belum memperoleh kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga Kartini (1879-1904) yang anak seorang Bupati hanya sempat menempuh E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Ia bertekad memajukan wanita Indonesia melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak perempuan di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya secara gratis.
Kartini bercita-cita mengikuti Sekolah Guru di Belanda agar dirinya dapat menjadi seorang pendidik yang baik. Walaupun telah mendapat beasiswa dari Pemerintah Belanda, keinginannya kandas  karena dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang. Hal ini tidak menyurutkan semangatnya, ia dengan teman-temannya mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Literasi seorang Kartini sangat prima. Kepada para sahabatnya di Belanda, ia menulis surat dan mencurahkan keinginannya untuk memajukan wanita agar  memperoleh persamaan hak perempuan dan laki-laki.Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.
Rupanya literasi perempuan makin meningkat. Secara akademik anak perempuan di sekolah banyak menempati sepuluh besar. Apakah hal ini berarti cahaya terang telah dialami banyak perempuan? Apakah kegelapan telah sirna dengan terbitnya cahaya terang? Dilihat secara umum tentu saja hal ini telah tercapai. Tetapi bila diurai dalam pemaknaan literasi kritis tentu hal ini tidak sesederhana yang ditafsirkan.
Literasi biasa dimaknai sebagai penguasaan kemampuan membaca dan menulis bahan tercetak disertai dengan kemampuan berkomunikasi dalam teks lisan dan tulis. Namun seiring dengan makin pesatnya kemajuan perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi, pengertian literasi berkembang pula dalam konteks yang sangat majemuk. Literasi sekarang bermakna penguasaan menggunakan berbagai bentuk semiotik dalam berbagai mode visual, aural dan digital. Penguasaan teks visual, aural dan digital sudah menjadi keharusan dalam pendidikan keaksaraan saat ini. Demikian pula literasi kritis merupakan sebuah keniscayaan untuk dikuasai oleh perempuan dan juga laki-laki.
Lalu apa yang dimaksud literasi kritis? Literasi kritis memandang teks dan kode-kode serta wacana yang terkandung di dalamnya sebagai teknologi manusia untuk merepresentasikan dan membentuk dunia. Teks diipahami sebagai bentukan manusia dan peninggalan bidang sosial. Sejalan dengan hal ini, pendekatan kritis mulai terjadi dengan cara memisahkan teks, penulis dan pembaca secara kultur dan historis. Teks kemudian beroperasi dalam konteks sosial, kultural dan politik yang dapat diidentifikasi. Hal ini bertujuan untuk membuat pembaca agar mampu mengkritisi dan membuat teks sesuai dengan ketertarikan kultural dan masyarakatnya. Hal ini juga melibatkan sebuah pemahaman akan bagaimana teks dan wacana dapat dikonstruksi, didekonstruksi dan direkonstruksi untuk memrepresentasikan, menguji, dan mengubah hubungan material, sosial dan semiotik.
Bentuk-bentuk literasi kritis telah mengikuti berbagai landasan teori perkembangan (feminisme, teori ras kritis, studi kultur postmodern, poskolonial, linguistik kritis). Perkembangan ini merupakan sebuah respon terhadap berbagai pergeseran sosial yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, satu hal yang perlu dicatat adalah fokus yang telah berubah di mana analisis kritis kini tidak hanya dilakukan terhadap teks dan genre tradisional tetapi juga terhadap teks media, budaya populer, pekerjaan dan konsumsi sehari-hari.
Kemampuan literasi kini sedang berada dalam periode transisi, dengan munculnya teknologi, berbagai mode informasi dan media yang memberikan tantangan besar terhadap tradisi lisan dan cetak di sekolah dan kehidupan sehari-hari. Yang terjadi adalah pengusaan pluralisasi literasi atau  multiple literasi.
Dalam transisi ini, literasi kritis merupakan tingkat terdalam dari keaksaraan. Hal ini merupakan sebuah proses dimana analisis dan interaksi dengan teks terjadi ketika seseorang menantang keberadaan teks tersebut dengan cara mempertanyakan tujuan, suara, dan biasnya. Dengan demikian literasi kritis dapat dimaknai sebagai proses berpikir untuk melakukan refleksi dan kontradiksi dari informasi-informasi yang diperoleh seseorang. Pengetahuan yang diperoleh dari teks dapat mencerahkan dan bermanfaat, tapi dapat juga menyesatkan, tidak dapat diandalkan dan terkadang merusak terutama bagi pembaca pasif. Semua penulis menulis dengan tujuan tertentu – menghibur, mengajak, menginformasikan, mengomentari, dan lain sebagainya. Dengan demikian, seseorang memiliki kemampuan untuk memanipulasi informasi sesuai dengan pandangannya sendiri. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi semua orang untuk menjadi aksarawan kritis agar dapat memahami tujuan informasi yang diterima dan mempertanyakan isinya untuk melihat keberpihakan yang ada di dalamnya.
Dalam era digital yang penulis istilahkan sebagai ‘digitalisasi’, keterbukaan berkomunikasi dengan menggunakan mode visual, aural dan digital untuk memaknai dan menanggapi masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya merupakan hal yang harus disikapi dengan cerdas. Perkembangan media elektronik dan media sosial akhir-akhir ini sangat maju di Indonesia dan cenderung mengalahkan moda informasi lainnya.
Untuk media, dalam kurun waktu 2003 – 2012, data BPS menunjukan bahwa penonton televisi terus meningkat hingga 91,68 persen, sebaliknya pendengar radio terus menurun sampai 18,57 persen dan pembaca surat kabar tinggal 17,66 persen.
Televisi dengan berbagai saluran yang beragam semua mencoba menarik perhatian pemirsa agar tetap menonton tayangannya. Demikian juga radio. TV dan radio tidak jarang memanfaatkan psikologi sosial untuk membentuk opini publik dengan tayang yang terstruktur atau lebih berantakan lagi bila opini publik terbentuk secara liar tanpa struktur ke arah yang menimbulkan ketakutan. Berita pembunuhan, pelecehan, penyimpangan, pengadilan, ditayangkan secara terbuka setiap saat sehingga masyarakat kelebihan beban informasi tanpa sempat mencerna secara jernih. Berita TV, radio dan koran menjadi komoditas dengan judul-judul yang cenderung ‘vulgar’ untuk meningkatkan rating atau penjualan. Hampir sulit membedakan ‘horor’ yang menyeruak dalam tayangan berita atau sinetron yang menampilkan pelaku dan korban kekerasan. Hampir tidak ada siaran yang dapat menyatukan sebuah keluarga untuk menonton dalam kebersamaan karena jam tayang yang sesuai untuk minat anak dan orang tua juga terpisah. Walau demikian semua anggota keluarga terpapar dengan gencarnya informasi serupa dalam saluran dan detik-detik berbeda. Secara instan semua terpapar dan berpartisipasi untuk mengkonsumsi  berita ekonomi, politik, hukum, kriminal, pendidikan, olah raga, selebritas, dan tayangan komersial. Demikian juga paparan tentang berita-berita perkosaan, pornografi, penyimpangan seksual dan penipuan yang dipicu oleh penggunaan internet, jejaring sosial (facebook), dan pesan selular melalui SMS atau MMS.
Keikutsertaan individu atau pun komunitas dalam media sosial sangat menakjubkan.  Penduduk Indonesia juga cukup aktif menggunakan facebook, twitter, instagram dan pinterest dan sejenisnya. Indonesia menempati urutan keempat dunia sebagai pengguna facebook setelah US, Brasil dan India. Sebanyak lebih dari 51 juta orang Indonesia menggunakan Facebook.  Dalam 10 teratas komunitas twitter dunia, ranking pertama, kelima, ke delapan dan kesembilan adalah komunitas Indonesia yaitu ramalan Indonesia, nasehat super, pepatah dan kata-kata bijak (lihat socialbaker.com). Statistik menunjukkan @TweetRAMALAN diikuti oleh 8.314.077 orang dengan 57.144 kicauan selama 3,3 tahun. Padahal urutan kedua (Uberfacts) dan keempat (Itunes Music) telah berkicau lebih lama yatu lebih dari 4,5 tahun.  Apakah keempat komunitas twiter yang jumlah pengikutnya begitu besar merupakan jawaban dari ‘habis gelap terbitlah terang’? Ramalan, nasehat super, pepatah dan kata-kata bijak seolah menjawab kebutuhan banyak pihak untuk berperan serta.
Lalu apa hubungannya dengan Kartini dan literasi kritis? Penulis ingin membangkitkan perempuan dan literasi kritis untuk berperan serta dalam menyikapi secara cerdas era digital ini. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Dana Boyd (the Guardian, 2012) “ Media sosial telah tak terelakkan mengubah dunia, memimpin keterbukaan dan rasa takut - tetapi tidak di luar kendali kita”. Oleh karena itu, agar era digital dapat menyejahterakan masyarakat sangat bergantung pada kita sebagai penggunanya.
Transparansi radikal secara sadar dan tidak dapat membuat seseorang atau kelompok terpinggirkan, atau meminggirkan diri dengan alasan lebih baik tertutup daripada terkena dahsyatnya hasrat komoditi informasi. Hal ini karena kekuatan sosial tidak linear sehingga  tidak sebanding dengan keinginan universal yaitu meningkatkan kemajuan teknologi dan informasi untuk pencerahan dan kesejahteraan masyarakat.  
Apakah dengan banjir informasi orang-orang menjadi lebih toleran dan berpikir jernih? Apakah orang benar-benar mencermati dan memahami masalah, keragaman dan berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan? Banjir informasi dapat menimbulkan ketakutan terutama bila ada yang memanfaatkan kesempatan tertentu dengan melakukan "cyberbullying".
Diskusi cemas para orang tua tentang bullying, penyimpangan seksual, dan jenis-jenis masalah keselamatan anak banyak terjadi di komunitas sosial seperti facebook, BBM group, atau media sosial lainnya. Ketakutan akan kanker, ketakutan wanita hamil terhadap preclamsia atau bayi lahir autis, keracunan merkuri, dan vaksin. Setiap komunitas tampaknya memiliki sesuatu yang mereka takut dan ketakutan bisa diperburuk secara online. Konsumerisme juga merebak secara luas atas kemajuan jejaring sosial ini. Dari retail online sampai dengan bursa emas online. Hal ini terjadi karena pesan-pesan informasi diperoleh melalui tombol elektronik dari teman dan kerabat yang mereka kenal dan percaya walau informasinya belum tentu profesional.
Namun, apa yang terjadi ketika mereka terkena kekejaman, ketakutan, dan kecemasan?  Siapa yang bertanggung jawab untuk mengekang rasa takut? Apakah ini masalah personal dan tanggung jawab individual? Atau Masalah sosial sehingga siapa pun harus bertanggungjawab?
Media sosial sudah ada dan tidak perlu dihindari. Kita tidak perlu merayakan keberhasilannya atau meratapi dampak negatif yang ditimbulkan. Bila kaum Ibu dan perempuan terlibat secara produktif dalam memelihara ekosistem, budaya santun, mencegah perilaku konsumtif, meningkatkan iman dan takwa serta sadar hukum,  ini akan mereduksi akibat negatif. Kemudian sudah saat secara terencana dan terpola, penguasa informasi dan jejaringnya perlu lebih mengharmonikan nilai-nilai infrastruktur teknologi dengan mengubah ekosistem informasi yang lebih berkeadaban dan berbudaya. Sudah saatnya kita meneliti nilai-nilai yang disebarkan melalui teknologi informasi, untuk berpikir kritis tentang informasi yang disampaikan. Kita semua perlu berperan dan bertanggung jawab untuk membanguan bangsa ini ke arah yang lebih mencerahkan, dan terang benderang tanpa kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar