Reporter : Didik Supriyanto | Selasa, 14 Oktober 2014 12:40
Merdeka.com - Senin (20/10) nanti, masa kerja Presiden SBY akan berakhir. Dia sudah menyiapkan upacara khusus di Istana menyerahkan jabatan presiden kepada Jokowi. Namun masa kerja yang tinggal lima hari itu membuat saya berdoa, semoga tidak ada bencana lagi di penghujung satu dasawarsa kekuasaan SBY ini.
Terus terang, saya cemas. Bangsa ini dikoyak-koyak oleh pelbagai urusan yang tidak perlu. Kubu Prabowo menolak hasil pemilu, lalu menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Gagal membuktikan kecurangan pesaing, mereka bermanuver menguasai pimpinan DPR/MPR. Sebagai sebuah permainan politik sah saja dilakukan, tetapi tindakan itu mencemaskan publik karena sudah melampaui batas kepatutan politik.
Tahun ini, perayaan kemerdekaan terasa hambar, bahkan menyakitkan. Pada saat kita mengenang perjuangan para pendiri Republik, meneguhkan cita-cita kemerdekaan, dan memahat kembali tujuan bernegara - yaitu rakyat adil makmur - kita menyaksikan rakyat antre BBM di mana-mana. Pasokan BBM bersubsidi dikurangi sehingga terjadi kelangkaan. Rakyat bersikap rasional: harga mahal tidak apa, yang penting tersedia.
Tapi Presiden tidak mau ambil risiko. Pasokan BBM bersubsidi dinormalkan kembali. Konsekuensinya BBM bersubsidi akan habis pada November tahun ini. Pemerintah baru menanggung pilihan sulit: mengurangi subsidi BBM yang berarti menaikkan harga, atau meneruskan subsidi dengan mengambil anggaran dari pos lain. Program-program kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur yang dijanjikan Jokowi pun bisa terkubur.
Lepas antre BBM, masalah muncul di parlemen. Partai-partai politik pendukung Prabowo menolak pilkada langsung oleh rakyat, yang sudah dipraktikkan selama 10 tahun terakhir. Mereka hendak mengembalikan pemilihan oleh DPRD. SBY minta agar Fraksi Partai Demokrat all out memperjuangkan pilkada langsung oleh rakyat, tetapi mereka malah walk out membiarkan pengesahan RUU Pilkada oleh DPRD.
Presiden SBY pun harus menanggung malu atas ulahnya sendiri. Dia dihujat habis-habisan oleh rakyatnya saat melancong ke luar negeri. Baru kali ini dalam sejarah Indonesia, bahkan dalam sejarah negara-negara seluruh dunia, ada presiden dipermalukan rakyat di masyarakat dunia. Protes dan caci maki tidak hanya jadi trending topic media sosial, tetapi juga diulas panjang lebar oleh media internasional.
SBY rupanya sadar bahwa rakyat tidak bisa dibodohi lagi, rakyat sudah muak dengan politik pencitraan. Rakyat sudah tahu, di balik basa basi perkataannya dan di balik seruan politik santunnya, sesungguhnya terdapat jiwa oligarkisme, elitisme, dan narsisme. Makanya ketika dia mengeluarkan Perppu Pilkada langsung untuk membatalkan UU Pilkada oleh DPRD, rakyat tidak serta merta mempercayainya.
Kemarahan rakyat tidak padam. Protes menolak pilkada oleh DPRD terus berlangsung di berbagai daerah. Apalagi tetap terbuka peluang DPR yang dikuasai kubu Prabowo menolak Perppu Pilkada. Sedangkan janji Partai Demokrat memperjuangkan Perppu Pilkada tidak bisa dipegang. Tidak heran, jika Bali Democratic Forum yang dijadikan ajang SBY untuk mempromosikan diri, justru jadi forum mempermalukan diri.
Langkah politik pimpinan MPR/DPR/DPD mampu meredam kekhawatiran akan terjadinya manuver politik susulan menjelang pelantikan Jokowi pada Senin 20 Oktober nanti. Pertemuan Ketua MPR Zulkfli Hasan, Ketua DPR Setya Novanto, dan Ketua DPD Irman Gusman dengan presiden terpilih Jokowi, memberi harapan akan berhentinya (setidaknya untuk sementara) adu kuat politik. Komitmen Ketua MPR menyukseskan pelantikan presiden dan menjaga konstitusi, memberi ketenangan publik setelah berbulan-bulan digonjang-ganjing perburuan kekuasaan.
Saya yakin, pelantikan presiden pada Senin 20 Oktober nanti akan berjalan lancar. Tetapi saya punya kecemasan lain: jangan-jangan di penghujung kekuasaan SBY ini masih ada lagi bencana yang akan muncul.
Terus terang, saya cemas. Bangsa ini dikoyak-koyak oleh pelbagai urusan yang tidak perlu. Kubu Prabowo menolak hasil pemilu, lalu menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Gagal membuktikan kecurangan pesaing, mereka bermanuver menguasai pimpinan DPR/MPR. Sebagai sebuah permainan politik sah saja dilakukan, tetapi tindakan itu mencemaskan publik karena sudah melampaui batas kepatutan politik.
Tahun ini, perayaan kemerdekaan terasa hambar, bahkan menyakitkan. Pada saat kita mengenang perjuangan para pendiri Republik, meneguhkan cita-cita kemerdekaan, dan memahat kembali tujuan bernegara - yaitu rakyat adil makmur - kita menyaksikan rakyat antre BBM di mana-mana. Pasokan BBM bersubsidi dikurangi sehingga terjadi kelangkaan. Rakyat bersikap rasional: harga mahal tidak apa, yang penting tersedia.
Tapi Presiden tidak mau ambil risiko. Pasokan BBM bersubsidi dinormalkan kembali. Konsekuensinya BBM bersubsidi akan habis pada November tahun ini. Pemerintah baru menanggung pilihan sulit: mengurangi subsidi BBM yang berarti menaikkan harga, atau meneruskan subsidi dengan mengambil anggaran dari pos lain. Program-program kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur yang dijanjikan Jokowi pun bisa terkubur.
Lepas antre BBM, masalah muncul di parlemen. Partai-partai politik pendukung Prabowo menolak pilkada langsung oleh rakyat, yang sudah dipraktikkan selama 10 tahun terakhir. Mereka hendak mengembalikan pemilihan oleh DPRD. SBY minta agar Fraksi Partai Demokrat all out memperjuangkan pilkada langsung oleh rakyat, tetapi mereka malah walk out membiarkan pengesahan RUU Pilkada oleh DPRD.
Presiden SBY pun harus menanggung malu atas ulahnya sendiri. Dia dihujat habis-habisan oleh rakyatnya saat melancong ke luar negeri. Baru kali ini dalam sejarah Indonesia, bahkan dalam sejarah negara-negara seluruh dunia, ada presiden dipermalukan rakyat di masyarakat dunia. Protes dan caci maki tidak hanya jadi trending topic media sosial, tetapi juga diulas panjang lebar oleh media internasional.
SBY rupanya sadar bahwa rakyat tidak bisa dibodohi lagi, rakyat sudah muak dengan politik pencitraan. Rakyat sudah tahu, di balik basa basi perkataannya dan di balik seruan politik santunnya, sesungguhnya terdapat jiwa oligarkisme, elitisme, dan narsisme. Makanya ketika dia mengeluarkan Perppu Pilkada langsung untuk membatalkan UU Pilkada oleh DPRD, rakyat tidak serta merta mempercayainya.
Kemarahan rakyat tidak padam. Protes menolak pilkada oleh DPRD terus berlangsung di berbagai daerah. Apalagi tetap terbuka peluang DPR yang dikuasai kubu Prabowo menolak Perppu Pilkada. Sedangkan janji Partai Demokrat memperjuangkan Perppu Pilkada tidak bisa dipegang. Tidak heran, jika Bali Democratic Forum yang dijadikan ajang SBY untuk mempromosikan diri, justru jadi forum mempermalukan diri.
Langkah politik pimpinan MPR/DPR/DPD mampu meredam kekhawatiran akan terjadinya manuver politik susulan menjelang pelantikan Jokowi pada Senin 20 Oktober nanti. Pertemuan Ketua MPR Zulkfli Hasan, Ketua DPR Setya Novanto, dan Ketua DPD Irman Gusman dengan presiden terpilih Jokowi, memberi harapan akan berhentinya (setidaknya untuk sementara) adu kuat politik. Komitmen Ketua MPR menyukseskan pelantikan presiden dan menjaga konstitusi, memberi ketenangan publik setelah berbulan-bulan digonjang-ganjing perburuan kekuasaan.
Saya yakin, pelantikan presiden pada Senin 20 Oktober nanti akan berjalan lancar. Tetapi saya punya kecemasan lain: jangan-jangan di penghujung kekuasaan SBY ini masih ada lagi bencana yang akan muncul.
Lihatlah, asap yang menyelimuti kota-kota di Sumatera dan Kalimantan semakin hari semakin tebal. Rakyat di sana sudah susah bernapas. Padahal ini adalah bencana yang berulang setiap tahun. Mengapa pemerintah tak bisa mengatasinya, mengapa di penghujung kekuasaan ini malah semakin tebal.
Ya Allah, lindungilah bangsa kami, jauhkan bangsa kami dari bala dan bencana. Amin.
Ya Allah, lindungilah bangsa kami, jauhkan bangsa kami dari bala dan bencana. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar