Bab I. HAM
A.
Judul: Kontroversi G30S
B.
Sumber: http://intanshawolarea.wordpress.com/2013/10/07/kasus-kasus-pelanggaran-ham-di-indonesia/
C.
Di antara kasus-kasus pelanggaran
berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi kasus
kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus
pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti
LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang
memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih
mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah kasus ini selesai,” jelasnya. Persoalan muncul
ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S. Asvi
menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan,
sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar
terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu,
seluruh informasi dikuasai tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan
kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak
sumber yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu
tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert
Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau
rata-rata 432.590 orang.
Cribb
mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka
menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti
Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai.
Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya, ”Kejadian
itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan.
Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo
empat tahun.
Cribb
menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama,
budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara
golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an.
Ketiga, militer yang diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor
provokasi media yang menyebabkan masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
Karena
itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu
dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh
negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa
diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap
masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah)
dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
Menurut
Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan
elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau
militer setidaknya memberi contoh,” ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan
militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan.
Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme,
semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan
demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah
sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen
Belgia 23 September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah
Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang
peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu
berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern
Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini. Peritiwa inilah, simpul
pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang
dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup. Hardoyo,
seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide
dengan hasil pertemuan Belgia. ”Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.”
Mantan
tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. “saya pernah mewawancarai
seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa
Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu
yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan putera terakhirnya,
dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari rumah sakit persalinan
dan langsung dibunuh.” Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14
tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan
bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah atasannya.
Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan
bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan
dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan
perintah yang berwajib.
Hardoyo
menambahkan: kemudian saya tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?” Sang anak
menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya
hilang. ”Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.”
Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk
dan sisinya. Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada
umumnya, peran KKR kelak harus memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus
sebelum 1 Oktober.
D.
Komentar : Harusnya kasus Ham
seperti ini tidak dapat terjadi adanya pemusnahan anggota PKI dengan kekerasan harusnya dengan cara
musywarah.
Bab
II. Kedaulatan
A. Judul : KEDAULATAN PANGAN SEBAGAI PENENTU HIDUP
MATI BANGSA
B. Sumber : http://arisyaoran.wordpress.com/2012/05/01/kedaulatan-pangan-sebagai-penentu-hidup-mati-bangsa-2/
“Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila
kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu
usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner (Ir. Soekarno)”.
Pernyataan
Ir. Soekarno diatas mengenai pangan sebagai persoalan soal mati-hidupnya suatu
bangsa memang tidak ada salahnya, kenyataannya ketiadaaan pangan yang
mengakibatkan bencana kelaparan sudah mewabah ke berbagai Negara di penjuru
belahan dunia. Kelaparan sebagai indikasi tindasan terhadap hak atas pangan
masih berlangsung di mana-mana bahkan bertambah buruk saja. Sebagai contoh
India adalah negeri dengan jumlah penderita kelaparan tertinggi didunia,
disusul oleh China. 60% dari total penderita kelaparan di seluruh dunia berada
di Asia dan Pasifik, diikuti oleh negeri-negeri Sub-Sahara dan Afrika sebesar
24%, serta Amerika Latin dan Karibia 6% (lihat tabel). Setiap tahun orang yang
menderita kelaparan bertambah 5,4 juta. Juga setiap tahunnya 36 juta rakyat
mati karena kelaparan dan gizi buruk, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Pada
World Food Summit (WFS) Food and Agriculture Organization (FAO) bulan November
1996 di Roma, para pemimpin negara/pemerintah telah mengikrarkan kemauan
politik dan komitmentnya untuk mencapai ketahanan pangan serta melanjutkan
upaya menghapuskan kelaparan di semua negara anggota dengan mengurangi
separuhnya jumlah penderita kekurangan pangan pada tahun 2015. Menurut
FAO pada tahun 1996 terdapat 800 juta dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita
kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi terutama
energi dan protein. Laporan PBB juga mencatat bahwa 3 – 5 ribu orang mati
setiap hari akibat kelaparan dan dampaknya. Angka ini lebih besar lagi
terjadi di negara – negara Sub Sahara – Afrika, negara – negara miskin dan
didaerah yang terlibat konflik perang.
Di
Indonesia ancaman kelaparan dan kekurangan gizi pada bayi dan balita telah
menjadi persoalan yang sampai hari ini belum bisa terselesaikan oleh
negara. Contoh kasus, data Dinas Kesehatan Kota Bogor menunjukkan 317
balita (bayi dibawah tiga tahun) di Bogor kekurangan gizi, hal ini akibat tidak
mempunyai orang tua anak tersebut memenuhi kebutuhan pangan akibat kemiskinan,
karena penghasilan yang tidak menentu seringkali anak – anak tersebut hanya
makan 1 hari sekali (kompas, 17 April 2002). Kasus lain, di Kab. Kutai,
Kalimantan Timur, yang dikenal dengan kabupaten kaya raya, ternyata banyak
memiliki warga yang miskin, terutama didaerah pedalaman yang hanya menggantungkan
hidupnya dengan makan 1 hari sekali (Kompas, 16 April 2002)
Walaupun
saat ini ancaman kelaparan itu belum begitu meluas, akan tetapi untuk kasus
Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil, karena pada saat inipun Indonesia
merupakan salah satu negara yang sangat besar tergantung pangannya dari luar
negri (Food Trap). Saat ini Indonesia berada dalam status rawan pangan,
bukan karena tidak adanya pangan tetapi lebih karena pangannya tergantung dari
pihak lain.
Solusi
Ketergantungan Pangan Bangsa
Ketergantungan
pangan Indonesia dari pihak asing sebenarnya bisa diatasi dengan jalan
diversifikasi dan ketahanan pangan. Indonesia sebagai salah satu Negara dengan
kekayaan dan keragaman hayati sumberdaya alam terbesar didunia sudah seharusnya
memanfaatkannya sebaik mungkin untuk kesejahteraan masyarakat dan menjadi
negara pengekspor produk hasil olahan diversifikasi pangan terbesar di dunia
dalam rangka mengatasi krisis pangan dunia.
Pemerintah
melalui Dinas Pertanian terkait sudah berupaya semaksimal mungkin untuk
mengatasi krisis pangan dalam negeri dengan jalan pengembangan produk pertanian
dan diversifikasi pangan seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2025, namun kenyataan yang ada di lapangan belum
menunjukkan hasil yang maksimal terbukti dengan langkah pemerintah mengimpor
beras untuk mencukupi kebutuhan beras dalam negeri. Padahal Indonesia sebagai
Negara agraris sudah seharusnya menjadi Negara yang mandiri dalam hal mencukupi
kebutuhan pangan rakyat.
Upaya
diversifikasi pangan sebagai salah satu solusi mencukupi kebutuhan pangan pun
terus dilakukan oleh pemerintah dengan program pengembangan diversfikasi olahan
produk seperti pengembangan produk umbi-umbian sebagai pengganti beras sebagai
makanan pokok, pengembangan produk olahan sukun sebagai jajanan sehat
masyarakat dan masih banyak lagi. Namun, kenyataannya masyarakat masih “enggan”
untuk beralih dari beras.
Selain
upaya diversifikasi, seharusnya pemerintah juga mengedepankan upaya edukasi
terhadap masyarakat terkait paradigma baru ketahanan pangan Indonesia sehingga
masyarakat dapat segera menyadari urgensi ketahanan dan kemandirian pangan
bangsa. Menurut UU No.7 tahun 1996, Ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Dari pemaparan UU tersebut sudah sangat jelas bahwa salah satu indikator
ketahanan pangan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang baik bagi masyarakat
secara aman, merata dan terjangkau. Oleh karena itu, pemahaman ketahanan pangan
sebagai langkah awal menuju kedaulatan pangan menjadi sangat penting.
Komentar : Kebijakan Strategi Pangan 2010-2014
Keberhasilan kedaulatan pangan
bangsa tentu tidak lepas dari yang namanya kebijakan strategi pangan. Berikut
akan dipaparkan beberapa langkah strategis kebijakan strategi pangan 2010-2014
dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia:
Memantapkan
ketahanan pangan sebagai paradigma baru masyarakat
Dengan adanya paradigma ketahanan
pangan tersebut maka segala upaya yang dilakukan pemerintah dapat terlaksana
secara maksimal karena adanya dukungan penuh dari pihak masyarakat sehingga
dapat memberikan hasil sesuai seperti yang diharapkan yaitu terciptanya ketahanan
pangan dalam negeri. Selain itu, dengan adanya ketahanan pangan dapat
menjamin ketersediaan pangan berbasis produksi dalam negeri (mandiri) sehingga
ancaman krisis pangan yang sempat muncul ke permukaan seperti kelangkaan
kedelai, impor beras, impor gula, kelangkaan cabai, dan melabungnya harga
kebutuhan pokok dapat segera teratasi serta merintis terciptanya sistem
pertanian yang modern, aman, efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pengembangan
infrastruktur pertanian
Pengembangan infrastruktur pertanian
seperti penyediaan alat-alat pertanian, pupuk organik, aliran air irigasi, dan
benih tanaman mutlak diperlukan petani agar mampu mewujudkan pertanian yang
berkelanjutan sehingga dapat berdampak positif pada produktivitas hasil pertaniaan.
Apabila infastruktur pertanian tidak kunjung dilengkapi bukan tidak mungkin
dapat berdampak pada ketidakseimbangan ekonomi dalam negeri yang dapat
mengakibatkan inflasi akibat melonjaknya harga kebutuhan pokok di pasaran yang
disebabkan karena produktivitas hasil pertanian yang belum mencukupi kebutuhan
pangan masyarakat.
Pengembangan
diversifikasi pangan
Diversifikasi sebagai solusi
strategis mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia memegang peranan yang cukup
vital bagi terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri. Oleh karena itu,
diperlukan kerjasama dari berbagai pihak untuk menggerakkan roda industri
diversifikasi pangan di Indonesia salah satunya dengan membangun dan memperkuat
industri pengolahan pangan di Indonesia. Dewasa ini sudah banyak industry-industri
pengolahan pangan yang berdiri di Indonesia namun masih belum mendapat
perhatian dari pemerintah sehingga banyak industri-industri tersebut yang
gulung tikar karena tidak sanggup bertahan dari serangan globalisasi yang
semakin marak. Padahal, peran industri-industri tersebut cukup vital sebagai
pengatur dan pengelola komoditas pengolahan pangan dalam negeri.
Kebijakan
perdagangan yang berpihak pada kepentingan nasional
Petani kita sudah berupaya untuk
melaksanakan kewajibannya untuk memnuhi kebutuhan pangan kita namun, apa daya
segala sesuatunya sudan ada kebijakan dari pusat sehingga kebijakan ini menjadi
penting apabila kebijakan tersebut berpihak kepada rakyat dan petani.
Kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama dalam hal mewujudkan kedaulatan
pangan. Oleh karena itu, pengaturan kebijakan baik dalam hal perdagangan maupun
pemasaran produk hasil pertanian harus mengedapnkan kesejahteraan masyarakat.
Penetapan
regulasi retail modern
Pada zaman modern seperti sekarang
ini banyak supermarket atau pasar modern bermunculan di segala penjuru daerah
memangsa pasar-pasar local dan membatasi akses pemasaran potensi alam daerah.
Pemerintah seharusnya membuat regulasi terkait pengaturan lokasi atau tempat
dibangunnya pasar modern tersebut agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat
local yang sedang mengadu nasib berdagang menjual hasil potensi alam daerah di
pasar local tersebut. Selain itu, penetapan regulasi terkait penetapan harga
komoditas hasil pertanian juga perlu dilakukan agar para petani dapat menjadi
kompetitif dalam bersaing.
Kedaulatan Pangan Sebagai Penentu
Hidup Mati Bangsa
Ketahanan pangan menjadi kunci pokok kedaulatan pangan yang menjadi sendi pokok
pemantapan kedaulatan negara. Apabila ketahanan pangan dalam negeri sudah berjalan
secara teratur, aman dan merata hingga ke pelosok daerah sudah bisa dikatakan
bahwa Negara Indonesia telah berhasil mewujudkan kedaulatan pangan. Tetapi
apabila hal tersebut belum bisa dilaksanakan bukan tidak mungkin Negara
Indonesia bakal menemui krisis pangan dan krisis Negara yang berlarut-larut.
Pemerintah haruslah membuka sejarah pemenuhan pangan bangsa ini. Bahwa sejak
Indonesia merdeka, rakyat petani dengan basis pertanian keluarga telah berhasil
memenuhi hingga 90 % kebutuhan pangan nasional. Angka produksi tersebut dapat
dicapai oleh petani Indonesia walaupun kekurangan lahan karena desakan konversi
lahan, tanpa dukungan infrastruktur berarti, pencemaran, kerusakan lingkungan
dan pengurangan hingga penyelewengan pada subsidi benih dan pupuk.
Persoalan pangan bagi bangsa indonesia, dan juga bangsa – bangsa lainnya di
dunia ini adalah merupakan persoalan yang sangat mendasar, dan sangat
menentukan nasib dari suatu bangsa, karena ketergantungan pangan dapat berarti
terjadinya terbelenggunya kemerdekaan bangsa dan rakyat terhadap suatu
kelompok, baik negara lain maupun kekuatan – kekuatan ekonomi lainnya. Oleh
karena itu, apabila persoalan kedaulatan pangan ini tidak ditindaklanjuti
dengan serius oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait maka akan menjadi
‘malapetaka’ bagi masyarakat dan juga Negara karena kedaulatan pangan memegang
peranan hidup dan matinya suatu bangsa.
Bab 3. Kedudukan Pembukaan UUD 1945 Negara Kesatuan RI
B.
Pembahasan: Arti dan Makna Alenia
Pembukaan UUD 1945
• Alenia Pertama
“ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”
Dalam kalimat “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa…” terkandung suatu pengakuan tentang nilai “hak kodrat” . Hak kodrat adalah hak yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa, yang melekat pada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pelanggaran terhadap hak kemerdekaan tidak sesuai dengan hakikat manusia (peri kemanusiaan) dan hakikat adil (peri keadilan) dan atas pelanggaran tersebut maka harus dilakukan suatu pemaksaan, yaitu bahwa penjajahan harus dihapuskan. Deklarasi kemerdekaan atas seluruh bangsa atas seluruh bangsa di dunia yang terkandung dalam alenia pertama merupakan suatu pernyataan yang bersifat universal.
• Alenia Pertama
“ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”
Dalam kalimat “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa…” terkandung suatu pengakuan tentang nilai “hak kodrat” . Hak kodrat adalah hak yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa, yang melekat pada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pelanggaran terhadap hak kemerdekaan tidak sesuai dengan hakikat manusia (peri kemanusiaan) dan hakikat adil (peri keadilan) dan atas pelanggaran tersebut maka harus dilakukan suatu pemaksaan, yaitu bahwa penjajahan harus dihapuskan. Deklarasi kemerdekaan atas seluruh bangsa atas seluruh bangsa di dunia yang terkandung dalam alenia pertama merupakan suatu pernyataan yang bersifat universal.
• Alenia Kedua
“ Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang bebahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur “
Perwujudan kemerdekaan bangsa Indonesia disamping sebagai suatu bukti obyektif atas penjajahan pada bangsa Indonesia, juga sekaligus mewujudkan suatu hasrat yang kuat dan bulat untuk menentukan nasib sendiri, terbebas dari kekuasaan bangsa lain. Hasil dari perjuangan tersebut terjelma dalam suatu Negara Indonesia dengan kemampuan dan kekuatan sendiri untuk menuju cita-cita bersama yang berkeadilan dan berkemakmuran. Demi terujudnya cia-cita tersebut maka bangsa Indonesia harus merdeka, bersatu dan mempunyai suatu kebulatan.
“ Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang bebahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur “
Perwujudan kemerdekaan bangsa Indonesia disamping sebagai suatu bukti obyektif atas penjajahan pada bangsa Indonesia, juga sekaligus mewujudkan suatu hasrat yang kuat dan bulat untuk menentukan nasib sendiri, terbebas dari kekuasaan bangsa lain. Hasil dari perjuangan tersebut terjelma dalam suatu Negara Indonesia dengan kemampuan dan kekuatan sendiri untuk menuju cita-cita bersama yang berkeadilan dan berkemakmuran. Demi terujudnya cia-cita tersebut maka bangsa Indonesia harus merdeka, bersatu dan mempunyai suatu kebulatan.
• Alenia Ketiga
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”
Pengakuan ‘nilai religius’ dalam pernyataan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” mengandung makna bahwa Negara Indonesia mengakui nilai-nilai religious, amerupakan dasar dari hokum positif negara maupun dasar moral negara. Pengakuan ‘nilai moral’ yang terkandung dalam pernyataan “didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas” mengandung makna bahwa negara dan bangsa Indonesia mengakui nilai-nilai moral dan hak kodrat segala bangsa. Pernyataan kembali ke proklamasi dalam kalimat ”…maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Hal ini dimaksudkan sebagai penegasan dan rincian lebih lanjut naskah Proklamasi 17 Agustus 1945.
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”
Pengakuan ‘nilai religius’ dalam pernyataan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” mengandung makna bahwa Negara Indonesia mengakui nilai-nilai religious, amerupakan dasar dari hokum positif negara maupun dasar moral negara. Pengakuan ‘nilai moral’ yang terkandung dalam pernyataan “didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas” mengandung makna bahwa negara dan bangsa Indonesia mengakui nilai-nilai moral dan hak kodrat segala bangsa. Pernyataan kembali ke proklamasi dalam kalimat ”…maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Hal ini dimaksudkan sebagai penegasan dan rincian lebih lanjut naskah Proklamasi 17 Agustus 1945.
• Alenia Keempat
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuaan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Dalam alenia ke empat termuat prinsip-prinsip serta pokok-pokok kaidah pembentukan pemerintahan Negara Indonesia seperti yang disimpulkan dari kalimat “…Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia…”. Pemerintahan dalam susunan kalimat “pemerintahan Negara Indonesia…” maksudnya dalam pengertian sebagai penyelenggaraan keseluruhan aspek kegiatan Negara dan segala kelengkapannya (government) yng berbeda dengan pemerintahan Negara yang hanya menyangkut salah satu aspek saja dari kegiatan penyelenggaraan Negara, yaitu aspek pelaksana (executive)
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuaan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Dalam alenia ke empat termuat prinsip-prinsip serta pokok-pokok kaidah pembentukan pemerintahan Negara Indonesia seperti yang disimpulkan dari kalimat “…Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia…”. Pemerintahan dalam susunan kalimat “pemerintahan Negara Indonesia…” maksudnya dalam pengertian sebagai penyelenggaraan keseluruhan aspek kegiatan Negara dan segala kelengkapannya (government) yng berbeda dengan pemerintahan Negara yang hanya menyangkut salah satu aspek saja dari kegiatan penyelenggaraan Negara, yaitu aspek pelaksana (executive)
C. Kesimpulan : 1. Agar mahasiswa
dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur, dan
demokratis serta ikhlas sebagawai WNI terdidik dan bertanggung jawab.
2. Agar mahasiswa menguasai dan
memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung
jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional
3. Agar mahasiswa memiliki sikap dan
perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela
berkorban bagi nusa dan bangsa.
D. Sumber hukum : Pendidikan kewarganegaraan dapat bermanfaat
untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, meningkatkan keyakinan
akan ketangguhan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia.
Pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan memiliki 2 (dua) dasar sebagai
landasannya, landasan yang dimaksud adalah landasan hukum dan ideal.
a. Landasan hukum
1) Undang-Undang Dasar 1945
a) Pembukaan UUD 1945. Pembukaan
alinea kedua tentang cita-cita mengisi kemerdekaan dan alinea keempat khusus
tentang tujuan negara, yaitu keamanan dan kesejahteraan.
b) Pasal 27 (3) (II), setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 30 ayat
(1) (II), tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara. Pasal 31 ayat (1) (IV), setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan. Pasal 28 A-J tentang Hak Asasi Manusia.
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982
Undang-undang No. 20/1982 adalah
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara 1982 No. 51, TLN 3234).
a) Pasal 18 Hak dan Kewajiban warga
negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela negara
diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan bela negara sebagai bagian tidak
terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional.
b) Pasal 19 ayat (2) Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara wajib diikuti oleh setiap warga negara dan dilaksanakan
secara bertahap, yaitu:
(1) Tahap awal pada pendidikan
tingkat dasar sampai menengah dan dalam gerakan Pramuka.
(2) Tahap lanjutan dalam bentuk
Pendidikan Kewiraan pada tingkat Pendidikan Tinggi.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, serta Nomor 45/U/2002 tentang
Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi telah ditetapkan bahwa Pendidikan Agama,
Pendidikan Bahasa dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok mata kuliah
Pengembangan Kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program
studi atau kelompok program studi.
4) Surat Keputusan Dirjen Dikti
Nomor 43 Tahun 2006
Surat Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
43/DIKTI/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Bab 4. Otonomi Daerah
A.
Judul : Otonomi Daerah
B.
Pembahasan :
C. A. Pengertian Otonomi Daerah
D. Otonomi berasal dari 2
kata yaitu , auto berarti sendiri,nomosberarti
rumah tangga atau urusan pemerintahan.Otonomi dengan demikian berarti mengurus
rumah tangga sendiri.Dengan mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka
istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan
dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah
sendiri.
Ada juga berbagai pengertian yang berdasarkan pada aturan yang
di tetapkan oleh Pemerintahan Daerah. Pengertian yang memliki kaitan dan
hubungan dengan otonomi daerah yang terdapat di dalam Undang-Undang,yaitu
sebagai berikut:
- Pemerintah daerah
yaitu penyelenggaraan urusan di dalam suatu daerah.
- Penyelenggaran urusan
pemerintah daerah tersebut harus menurut asas otonomi seluas-luasya dalam
prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UUD 1945.
- Pemerintah Daerah itu
meliputi Bupati atau Walikota, perangkat daerah seperti Lurah,Camat serta
Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah tertinggi.
- DPRD adalah lembaga
pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD duduk para wakil rakyat yang menjadi
penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD adalah suatu unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
- Otonomi daerah adalah
wewenang,hak dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan mengatur
sendiri urusan pemerintahan dan mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang
berada dan menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Daerah otonom adalah
suatu kesatuan masyarakat yang berada di dalam batas-batas wilayah dan wewenang
dari pemerintahan daerah di mana prngaturan nya berdasarkan prakarsa sendiri
namum sesuai dengan sistem NKRI.
- Di dalam otonomi
daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat adalah Presiden Republik Indonesia
sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
B.
Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah
di Indonesia
a) Warisan Kolonial
Pada
tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.
Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.
181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah
undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan
locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan
persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah
kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah
kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam
masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi
pemerintahan.
b) Masa Pendudukan Jepang
Ketika
menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara
ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta
Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar
tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan.
Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut
bersifat misleading.
c) Masa Kemerdekaan
1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun
1945
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur
pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian
daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)
Provinsi
2)
Kabupaten/kota besar
3)
Desa/kota kecil.
UU
No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja.
Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.
2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun
1948
Peraturan
kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam
UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)
Propinsi
b)
Kabupaten/kota besar
c)
Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah
tangganya sendiri.
3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun
1957
Menurut
UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra.
Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah
tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1)
Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2)
Daerah swatantra tingkat II
3)
Daerah swatantra tingkat III.
UU
No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya
sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6
Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang
berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan
efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan
daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah
tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada
kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh
pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun
1965
Menurut
UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)
Provinsi (tingkat I)
2)
Kabupaten (tingkat II)
3)
Kecamatan (tingkat III)
Sebagai
alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan
politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan
pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas
lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah
daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan
DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974
UU
ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya
berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu
daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut
tingkatannya menjadi:
1)
Provinsi/ibu kota negara
2)
Kabupaten/kotamadya
3)
Kecamatan
Titik
berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi
aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999
Pada
prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22
tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1) Sistem ketatanegaraan Indonesia
wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi
dalam kerangka NKRI.
2) Daerah yang dibentuk berdasarkan
asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah
yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan
daerah kota.
3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam
daerah otonomi.
4) Kecamatan merupakan perangkat daerah
kabupaten.
Secara
umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat
daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.
8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004
Pada
tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah
yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU
ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku
lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara
kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas
kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan
kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian
juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan
sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas
E. Kesimpulan :
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi
daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan
mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif
dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki
kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki
analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi
sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun
program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara
menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak
yang akan terjadi.
F.
Sumber hukum
: 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
Sejak awal kemerdekaan, otonomi daerah telah mendapat perhatian melalui Undang-Undang
No. 1 Tahun 1945. Undang-undang ini, menurut Mahfud (2006:224), dibuat dalam
semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang memang menggelorakan
semangat kebebasan. Undang-undang ini berisi enam pasal yang pada pokoknya
memberi tempat penting bagi Komite Nasional Daerah (KND) sebagai alat
perlengkapan demokrasi di daerah. Asas yang dianut UU No. 1 Tahun 1945 adalah
asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan-urusan kepada daerah-daerah
tanpa secara spesifik menyebut jenis atau bidang urusannya. Ini berarti bahwa
daerah bisa memilih sendiri urusannya selama tidak ditentukan bahwa
urusan-urusan tertentu diurus oleh pemerintah pusat atau diatur oleh pemerintah
yang tingkatannya lebih tinggi.
UU No. 22 Tahun 1948
Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU
sebelumnya yang dirasakan masih dualistik. UU Nomor 22 Tahun 1948 ini menganut
asas otonomi formal dan materiil sekaligus. Ini terlihat dari pasal 23 (2) yang
menyebut urusan yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang
menyebutkan adanya pembatasan-pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda
tertentu yang telah diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal
ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.
UU No. 1 Tahun 1957
Di era demokrasi liberal, berlaku UUDS 1950, di mana gagasan otonomi nyata
yang seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun
1957. Di sini, dari sudut UU ini telah dikenal adanya pemilihan kepala daerah
secara langsung, meski belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan
politik. Dalam UU ini, menurut Mahfud (2006:245), DPRD dijadikan tulang
punggung otonomi daerah, sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh Dewan
Pemerintah Daerah (DPD).
UU No. 18 Tahun 1965
Pada era demokrasi
terpimpin, dikeluarkanlah UU Nomor 18 Tahun 1965. UU ini merupakan perwujudan
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi
seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di dalam sistem
pemerintahan justru merupakan pengekangan yang luar biasa atas daerah. Kepala
daerah ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan wewenang untuk
mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Demikian juga wewenang untuk
menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis sama sekali
tidak mempunyai peran.
UU No. 5 Tahun 1974
Setelah demokrasi
terpimpin digantikan oleh sistem politik Orde Baru yang menyebut diri sebagai
Demokrasi Pancasila, maka politik hukum otonomi daerah kembali diubah. Melalui
Tap MPRS No.XXI/MPRS/1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-luasnya
disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah guna disesuaikan dengan
prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS tersebut. Selanjutnya, melalui Tap
MPR No.IV/MPR/1973 tentang GBHN yang, sejauh menyangkut hukum otonomi daerah,
penentuan asasnya diubah dari otonomi “nyata yang seluas-luasnya” menjadi
otonomi “nyata dan bertanggungjawab” (Mahfud, 2006:226). Ketentuan GBHN tentang
politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun
1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah.
Dengan UU yang sangat sentralistik itu terjadilah ketidakadilan politik.
Seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah dan cara penetapan
kepala daerah. Demikian juga terjadi ketidakadilan ekonomi karena kekayaan
daerah lebih banyak disedot oleh pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi
dan tawar-menawar politik.
UU No. 22 Tahun 1999
Pada era reformasi,
otonomi daerah kembali mendapat perhatian serius. Otonomi daerah, yang di masa
Orde Baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan karena
dianggap sebagai instrumen otoriterisme pemerintah pusat. Melalui UU No. 22
Tahun 1999, prinsip otonomi luas dalam hubungan pusat dan daerah dikembalikan.
Ada tiga hal yang menjadi visi UU No. 22 Tahun 1999, menurut Ryass Rasyid
(2002:75), yaitu: (1) membebaskan pemerintah pusat dari beban mengurus
soal-soal domestik dan menyerahkannya kepada pemerintah lokal agar pemerintah
lokal secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk mengurus urusan
domestiknya; (2) pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makro
nasional; dan (3) daerah bisa lebih berdaya dan kreatif.
UU No. 32 Tahun 2004
Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 menganut prinsip yang sama dengan UU No. 22 Tahun 1999, yakni otonomi luas
dalam rangka demokratisasi. Prinsip otonomi luas itu mendapat landasannya di
dalam pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen. Dalam UU ini juga ditegaskan
juga sistem pemilihan langsung kepala daerah. Rakyat diberi kesempatan yang
luas untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya. Menurut pasal 57 ayat
(1), Kepda/Wakepda dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No.
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan
ini menjadi dasar hukum otonomi daerah dalam melaksanakan kewenangan di daerah.
PP No. 38 Tahun 2007 ini merupakan penjabaran langsung untuk dapat melaksanakan
Pasal 14 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar