Senin, 02 Juni 2014

Kontroversi G30S



    Bab I. HAM
A.    Judul: Kontroversi G30S
C.     Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah kasus ini selesai,” jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S. Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,” ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini. Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup. Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. ”Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.”
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. “saya pernah mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.” Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?” Sang anak menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya. Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.
D.    Komentar : Harusnya kasus Ham seperti ini tidak dapat terjadi adanya pemusnahan anggota PKI  dengan kekerasan harusnya dengan cara musywarah.









Bab II. Kedaulatan

A.    Judul : KEDAULATAN PANGAN SEBAGAI PENENTU HIDUP MATI BANGSA

B.     Sumber : http://arisyaoran.wordpress.com/2012/05/01/kedaulatan-pangan-sebagai-penentu-hidup-mati-bangsa-2/

“Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner (Ir. Soekarno)”.

Pernyataan Ir. Soekarno diatas mengenai pangan sebagai persoalan soal mati-hidupnya suatu bangsa memang tidak ada salahnya, kenyataannya ketiadaaan pangan yang mengakibatkan bencana kelaparan sudah mewabah ke berbagai Negara di penjuru belahan dunia. Kelaparan sebagai indikasi tindasan terhadap hak atas pangan masih berlangsung di mana-mana bahkan bertambah buruk saja. Sebagai contoh India adalah negeri dengan jumlah penderita kelaparan tertinggi didunia, disusul oleh China. 60% dari total penderita kelaparan di seluruh dunia berada di Asia dan Pasifik, diikuti oleh negeri-negeri Sub-Sahara dan Afrika sebesar 24%, serta Amerika Latin dan Karibia 6% (lihat tabel). Setiap tahun orang yang menderita kelaparan bertambah 5,4 juta. Juga setiap tahunnya 36 juta rakyat mati karena kelaparan dan gizi buruk, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pada World Food Summit (WFS) Food and Agriculture Organization (FAO) bulan November 1996 di Roma, para pemimpin negara/pemerintah telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmentnya untuk mencapai ketahanan pangan serta melanjutkan upaya menghapuskan kelaparan di semua negara anggota dengan mengurangi separuhnya jumlah penderita kekurangan pangan pada tahun 2015.  Menurut FAO pada tahun 1996 terdapat 800 juta dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi terutama energi dan protein.  Laporan PBB juga mencatat bahwa 3 – 5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan dan dampaknya.  Angka ini lebih besar lagi terjadi di negara – negara Sub Sahara – Afrika, negara – negara miskin dan didaerah yang terlibat konflik perang.
Di Indonesia ancaman kelaparan dan kekurangan gizi pada bayi dan balita telah menjadi persoalan yang sampai hari ini belum bisa terselesaikan oleh negara.  Contoh kasus, data Dinas Kesehatan Kota Bogor menunjukkan 317 balita (bayi dibawah tiga tahun) di Bogor kekurangan gizi, hal ini akibat tidak mempunyai orang tua anak tersebut memenuhi kebutuhan pangan akibat kemiskinan, karena penghasilan yang tidak menentu seringkali anak – anak tersebut hanya makan 1 hari sekali (kompas, 17 April 2002).  Kasus lain, di Kab. Kutai, Kalimantan Timur, yang dikenal dengan kabupaten kaya raya, ternyata banyak memiliki warga yang miskin, terutama didaerah pedalaman yang hanya menggantungkan hidupnya dengan makan 1 hari sekali (Kompas, 16 April 2002)
Walaupun saat ini ancaman kelaparan itu belum begitu meluas, akan tetapi untuk kasus Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil, karena pada saat inipun Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat besar tergantung pangannya dari luar negri (Food Trap).  Saat ini Indonesia berada dalam status rawan pangan, bukan karena tidak adanya pangan tetapi lebih karena pangannya tergantung dari pihak lain. 

Solusi Ketergantungan Pangan Bangsa

Ketergantungan pangan Indonesia dari pihak asing sebenarnya bisa diatasi dengan jalan diversifikasi dan ketahanan pangan. Indonesia sebagai salah satu Negara dengan kekayaan dan keragaman hayati sumberdaya alam terbesar didunia sudah seharusnya memanfaatkannya sebaik mungkin untuk kesejahteraan masyarakat dan menjadi negara pengekspor produk hasil olahan diversifikasi pangan terbesar di dunia dalam rangka mengatasi krisis pangan dunia.
Pemerintah melalui Dinas Pertanian terkait sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mengatasi krisis pangan dalam negeri dengan jalan pengembangan produk pertanian dan diversifikasi pangan seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2025, namun kenyataan yang ada di lapangan belum menunjukkan hasil yang maksimal terbukti dengan langkah pemerintah mengimpor beras untuk mencukupi kebutuhan beras dalam negeri. Padahal Indonesia sebagai Negara agraris sudah seharusnya menjadi Negara yang mandiri dalam hal mencukupi kebutuhan pangan rakyat.
Upaya diversifikasi pangan sebagai salah satu solusi mencukupi kebutuhan pangan pun terus dilakukan oleh pemerintah dengan program pengembangan diversfikasi olahan produk seperti pengembangan produk umbi-umbian sebagai pengganti beras sebagai makanan pokok, pengembangan produk olahan sukun sebagai jajanan sehat masyarakat dan masih banyak lagi. Namun, kenyataannya masyarakat masih “enggan” untuk beralih dari beras.
Selain upaya diversifikasi, seharusnya pemerintah juga mengedepankan upaya edukasi terhadap masyarakat terkait paradigma baru ketahanan pangan Indonesia sehingga masyarakat dapat segera menyadari urgensi ketahanan dan kemandirian pangan bangsa. Menurut UU No.7 tahun 1996, Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dari pemaparan UU tersebut sudah sangat jelas bahwa salah satu indikator ketahanan pangan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang baik bagi masyarakat secara aman, merata dan terjangkau. Oleh karena itu, pemahaman ketahanan pangan sebagai langkah awal menuju kedaulatan pangan menjadi sangat penting.
Komentar : Kebijakan Strategi Pangan 2010-2014 
Keberhasilan kedaulatan pangan bangsa tentu tidak lepas dari yang namanya kebijakan strategi pangan. Berikut akan dipaparkan beberapa langkah strategis kebijakan strategi pangan 2010-2014 dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia:



Memantapkan ketahanan pangan sebagai paradigma baru masyarakat
Dengan adanya paradigma ketahanan pangan tersebut maka segala upaya yang dilakukan pemerintah dapat terlaksana secara maksimal karena adanya dukungan penuh dari pihak masyarakat sehingga dapat memberikan hasil sesuai seperti yang diharapkan yaitu terciptanya ketahanan pangan dalam negeri. Selain itu, dengan adanya  ketahanan pangan dapat menjamin ketersediaan pangan berbasis produksi dalam negeri (mandiri) sehingga ancaman krisis pangan yang sempat muncul ke permukaan seperti kelangkaan kedelai, impor beras, impor gula, kelangkaan cabai, dan melabungnya harga kebutuhan pokok dapat segera teratasi serta merintis terciptanya sistem pertanian yang modern, aman, efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pengembangan infrastruktur pertanian
Pengembangan infrastruktur pertanian seperti penyediaan alat-alat pertanian, pupuk organik, aliran air irigasi, dan benih tanaman mutlak diperlukan petani agar mampu mewujudkan pertanian yang berkelanjutan sehingga dapat berdampak positif pada produktivitas hasil pertaniaan. Apabila infastruktur pertanian tidak kunjung dilengkapi bukan tidak mungkin dapat berdampak pada ketidakseimbangan ekonomi dalam negeri yang dapat mengakibatkan inflasi akibat melonjaknya harga kebutuhan pokok di pasaran yang disebabkan karena produktivitas hasil pertanian yang belum mencukupi kebutuhan pangan masyarakat.
Pengembangan diversifikasi pangan
Diversifikasi sebagai solusi strategis mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia memegang peranan yang cukup vital bagi terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama dari berbagai pihak untuk menggerakkan roda industri diversifikasi pangan di Indonesia salah satunya dengan membangun dan memperkuat industri pengolahan pangan di Indonesia. Dewasa ini sudah banyak industry-industri pengolahan pangan yang berdiri di Indonesia namun masih belum mendapat perhatian dari pemerintah sehingga banyak industri-industri tersebut yang gulung tikar karena tidak sanggup bertahan dari serangan globalisasi yang semakin marak. Padahal, peran industri-industri tersebut cukup vital sebagai pengatur dan pengelola komoditas pengolahan pangan dalam negeri.
Kebijakan perdagangan yang berpihak pada kepentingan nasional
Petani kita sudah berupaya untuk melaksanakan kewajibannya untuk memnuhi kebutuhan pangan kita namun, apa daya segala sesuatunya sudan ada kebijakan dari pusat sehingga kebijakan ini menjadi penting apabila kebijakan tersebut berpihak kepada rakyat dan petani. Kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan. Oleh karena itu, pengaturan kebijakan baik dalam hal perdagangan maupun pemasaran produk hasil pertanian harus mengedapnkan kesejahteraan masyarakat.
Penetapan regulasi retail modern
Pada zaman modern seperti sekarang ini banyak supermarket atau pasar modern bermunculan di segala penjuru daerah memangsa pasar-pasar local dan membatasi akses pemasaran potensi alam daerah. Pemerintah seharusnya membuat regulasi terkait pengaturan lokasi atau tempat dibangunnya pasar modern tersebut agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat local yang sedang mengadu nasib berdagang menjual hasil potensi alam daerah di pasar local tersebut. Selain itu, penetapan regulasi terkait penetapan harga komoditas hasil pertanian juga perlu dilakukan agar para petani dapat menjadi kompetitif dalam bersaing.
Kedaulatan Pangan Sebagai Penentu Hidup Mati Bangsa
            Ketahanan pangan menjadi kunci pokok kedaulatan pangan yang menjadi sendi pokok pemantapan kedaulatan negara. Apabila ketahanan pangan dalam negeri sudah berjalan secara teratur, aman dan merata hingga ke pelosok daerah sudah bisa dikatakan bahwa Negara Indonesia telah berhasil mewujudkan kedaulatan pangan. Tetapi apabila hal tersebut belum bisa dilaksanakan bukan tidak mungkin Negara Indonesia bakal menemui krisis pangan dan krisis Negara yang berlarut-larut.
            Pemerintah haruslah membuka sejarah pemenuhan pangan bangsa ini. Bahwa sejak Indonesia merdeka, rakyat petani dengan basis pertanian keluarga telah berhasil memenuhi hingga 90 % kebutuhan pangan nasional. Angka produksi tersebut dapat dicapai oleh petani Indonesia walaupun kekurangan lahan karena desakan konversi lahan, tanpa dukungan infrastruktur berarti, pencemaran, kerusakan lingkungan dan pengurangan hingga penyelewengan pada subsidi benih dan pupuk.
            Persoalan pangan bagi bangsa indonesia, dan juga bangsa – bangsa lainnya di dunia ini adalah merupakan persoalan yang sangat mendasar, dan sangat menentukan nasib dari suatu bangsa, karena ketergantungan pangan dapat berarti terjadinya terbelenggunya kemerdekaan bangsa dan rakyat terhadap suatu kelompok, baik negara lain maupun kekuatan – kekuatan ekonomi lainnya. Oleh karena itu, apabila persoalan kedaulatan pangan ini tidak ditindaklanjuti dengan serius oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait maka akan menjadi ‘malapetaka’ bagi masyarakat dan juga Negara karena kedaulatan pangan memegang peranan hidup dan matinya suatu bangsa.

 



Top of Form







Bab 3. Kedudukan Pembukaan UUD 1945 Negara Kesatuan RI

B.     Pembahasan: Arti dan Makna Alenia Pembukaan UUD 1945
• Alenia Pertama
“ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”
Dalam kalimat “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa…” terkandung suatu pengakuan tentang nilai “hak kodrat” . Hak kodrat adalah hak yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa, yang melekat pada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pelanggaran terhadap hak kemerdekaan tidak sesuai dengan hakikat manusia (peri kemanusiaan) dan hakikat adil (peri keadilan) dan atas pelanggaran tersebut maka harus dilakukan suatu pemaksaan, yaitu bahwa penjajahan harus dihapuskan. Deklarasi kemerdekaan atas seluruh bangsa atas seluruh bangsa di dunia yang terkandung dalam alenia pertama merupakan suatu pernyataan yang bersifat universal.
• Alenia Kedua
“ Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang bebahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur “
Perwujudan kemerdekaan bangsa Indonesia disamping sebagai suatu bukti obyektif atas penjajahan pada bangsa Indonesia, juga sekaligus mewujudkan suatu hasrat yang kuat dan bulat untuk menentukan nasib sendiri, terbebas dari kekuasaan bangsa lain. Hasil dari perjuangan tersebut terjelma dalam suatu Negara Indonesia dengan kemampuan dan kekuatan sendiri untuk menuju cita-cita bersama yang berkeadilan dan berkemakmuran. Demi terujudnya cia-cita tersebut maka bangsa Indonesia harus merdeka, bersatu dan mempunyai suatu kebulatan.
• Alenia Ketiga
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”
Pengakuan ‘nilai religius’ dalam pernyataan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” mengandung makna bahwa Negara Indonesia mengakui nilai-nilai religious, amerupakan dasar dari hokum positif negara maupun dasar moral negara. Pengakuan ‘nilai moral’ yang terkandung dalam pernyataan “didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas” mengandung makna bahwa negara dan bangsa Indonesia mengakui nilai-nilai moral dan hak kodrat segala bangsa. Pernyataan kembali ke proklamasi dalam kalimat ”…maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Hal ini dimaksudkan sebagai penegasan dan rincian lebih lanjut naskah Proklamasi 17 Agustus 1945.
• Alenia Keempat
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuaan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Dalam alenia ke empat termuat prinsip-prinsip serta pokok-pokok kaidah pembentukan pemerintahan Negara Indonesia seperti yang disimpulkan dari kalimat “…Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia…”. Pemerintahan dalam susunan kalimat “pemerintahan Negara Indonesia…” maksudnya dalam pengertian sebagai penyelenggaraan keseluruhan aspek kegiatan Negara dan segala kelengkapannya (government) yng berbeda dengan pemerintahan Negara yang hanya menyangkut salah satu aspek saja dari kegiatan penyelenggaraan Negara, yaitu aspek pelaksana (executive)
C. Kesimpulan : 1. Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas sebagawai WNI terdidik dan bertanggung jawab.
2. Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional
3. Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
D. Sumber hukum : Pendidikan kewarganegaraan dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, meningkatkan keyakinan akan ketangguhan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan memiliki 2 (dua) dasar sebagai landasannya, landasan yang dimaksud adalah landasan hukum dan ideal.
a. Landasan hukum
1) Undang-Undang Dasar 1945
a) Pembukaan UUD 1945. Pembukaan alinea kedua tentang cita-cita mengisi kemerdekaan dan alinea keempat khusus tentang tujuan negara, yaitu keamanan dan kesejahteraan.
b) Pasal 27 (3) (II), setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 30 ayat (1) (II), tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 31 ayat (1) (IV), setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pasal 28 A-J tentang Hak Asasi Manusia.

2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982
Undang-undang No. 20/1982 adalah tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara 1982 No. 51, TLN 3234).
a) Pasal 18 Hak dan Kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan bela negara sebagai bagian tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional.
b) Pasal 19 ayat (2) Pendidikan Pendahuluan Bela Negara wajib diikuti oleh setiap warga negara dan dilaksanakan secara bertahap, yaitu:
(1) Tahap awal pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah dan dalam gerakan Pramuka.
(2) Tahap lanjutan dalam bentuk Pendidikan Kewiraan pada tingkat Pendidikan Tinggi.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, serta Nomor 45/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi telah ditetapkan bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan Bahasa dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi atau kelompok program studi.
4) Surat Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43 Tahun 2006
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 43/DIKTI/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

 

 

 

 

 

 

 

Bab 4. Otonomi Daerah

A.    Judul : Otonomi Daerah

B.     Pembahasan : 

C.     A.    Pengertian Otonomi Daerah
D.    Otonomi berasal dari 2 kata yaitu ,  auto berarti sendiri,nomosberarti rumah tangga atau urusan pemerintahan.Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri.Dengan mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.
Ada juga berbagai pengertian yang berdasarkan pada aturan yang di tetapkan oleh Pemerintahan Daerah. Pengertian yang memliki kaitan dan hubungan dengan otonomi daerah yang terdapat di dalam Undang-Undang,yaitu sebagai berikut:
-          Pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan di dalam suatu daerah.
-          Penyelenggaran urusan pemerintah daerah tersebut harus menurut asas otonomi seluas-luasya dalam prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UUD 1945.
-          Pemerintah Daerah itu meliputi Bupati atau Walikota, perangkat daerah seperti Lurah,Camat serta Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah tertinggi.
-          DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD duduk para wakil rakyat yang menjadi penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD adalah suatu unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
-          Otonomi daerah adalah wewenang,hak dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang berada dan menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-          Daerah otonom adalah suatu kesatuan masyarakat yang berada di dalam batas-batas wilayah dan wewenang dari pemerintahan daerah di mana prngaturan nya berdasarkan prakarsa sendiri namum sesuai dengan sistem  NKRI.
-          Di dalam otonomi daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat adalah Presiden Republik Indonesia sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B.     Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
a)      Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
b)      Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
c)      Masa Kemerdekaan

1.      Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)    Provinsi
2)    Kabupaten/kota besar
3)    Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.

2.      Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)    Propinsi
b)    Kabupaten/kota besar
c)    Desa/kota kecil
d)   Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.         

3.      Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1)    Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2)    Daerah swatantra tingkat II
3)    Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

4.      Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.

5.      Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)    Provinsi (tingkat I)
2)    Kabupaten (tingkat II)
3)    Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6.      Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1)    Provinsi/ibu kota negara
2)    Kabupaten/kotamadya
3)    Kecamatan


Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

7.      Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun  1999 adalah sebagai berikut:
1)      Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2)      Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3)      Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4)      Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

8.      Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang  dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas
E.     Kesimpulan :
            Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
F.      Sumber hukum : 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
Sejak awal kemerdekaan, otonomi daerah telah mendapat perhatian melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1945. Undang-undang ini, menurut Mahfud (2006:224), dibuat dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang memang menggelorakan semangat kebebasan. Undang-undang ini berisi enam pasal yang pada pokoknya memberi tempat penting bagi Komite Nasional Daerah (KND) sebagai alat perlengkapan demokrasi di daerah. Asas yang dianut UU No. 1 Tahun 1945 adalah asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan-urusan kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik menyebut jenis atau bidang urusannya. Ini berarti bahwa daerah bisa memilih sendiri urusannya selama tidak ditentukan bahwa urusan-urusan tertentu diurus oleh pemerintah pusat atau diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi.
UU No. 22 Tahun 1948
Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya yang dirasakan masih dualistik. UU Nomor 22 Tahun 1948 ini menganut asas otonomi formal dan materiil sekaligus. Ini terlihat dari pasal 23 (2) yang menyebut urusan yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan adanya pembatasan-pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda tertentu yang telah diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.
UU No. 1 Tahun 1957
Di era demokrasi liberal, berlaku UUDS 1950, di mana gagasan otonomi nyata yang seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun 1957. Di sini, dari sudut UU ini telah dikenal adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, meski belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini, menurut Mahfud (2006:245), DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah, sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD).
UU No. 18 Tahun 1965
Pada era demokrasi terpimpin, dikeluarkanlah UU Nomor 18 Tahun 1965. UU ini merupakan perwujudan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di dalam sistem pemerintahan justru merupakan pengekangan yang luar biasa atas daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan wewenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Demikian juga wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis sama sekali tidak mempunyai peran.
UU No. 5 Tahun 1974
Setelah demokrasi terpimpin digantikan oleh sistem politik Orde Baru yang menyebut diri sebagai Demokrasi Pancasila, maka politik hukum otonomi daerah kembali diubah. Melalui Tap MPRS No.XXI/MPRS/1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-luasnya disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS tersebut. Selanjutnya, melalui Tap MPR No.IV/MPR/1973 tentang GBHN yang, sejauh menyangkut hukum otonomi daerah, penentuan asasnya diubah dari otonomi “nyata yang seluas-luasnya” menjadi otonomi “nyata dan bertanggungjawab” (Mahfud, 2006:226). Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik itu terjadilah ketidakadilan politik. Seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah dan cara penetapan kepala daerah. Demikian juga terjadi ketidakadilan ekonomi karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawar-menawar politik.
 UU No. 22 Tahun 1999
Pada era reformasi, otonomi daerah kembali mendapat perhatian serius. Otonomi daerah, yang di masa Orde Baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan karena dianggap sebagai instrumen otoriterisme pemerintah pusat. Melalui UU No. 22 Tahun 1999, prinsip otonomi luas dalam hubungan pusat dan daerah dikembalikan. Ada tiga hal yang menjadi visi UU No. 22 Tahun 1999, menurut Ryass Rasyid (2002:75), yaitu: (1) membebaskan pemerintah pusat dari beban mengurus soal-soal domestik dan menyerahkannya kepada pemerintah lokal agar pemerintah lokal secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk mengurus urusan domestiknya; (2) pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makro nasional; dan (3) daerah bisa lebih berdaya dan kreatif.
 UU No. 32 Tahun 2004
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menganut prinsip yang sama dengan UU No. 22 Tahun 1999, yakni otonomi luas dalam rangka demokratisasi. Prinsip otonomi luas itu mendapat landasannya di dalam pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen. Dalam UU ini juga ditegaskan juga sistem pemilihan langsung kepala daerah. Rakyat diberi kesempatan yang luas untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya. Menurut pasal 57 ayat (1), Kepda/Wakepda dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan ini menjadi dasar hukum otonomi daerah dalam melaksanakan kewenangan di daerah. PP No. 38 Tahun 2007 ini merupakan penjabaran langsung untuk dapat melaksanakan Pasal 14 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar